46: Jakarta Berduka

54 3 0
                                    

Berita kecelakaan Lana tersebar ke mana-mana. Bahkan masuk berita televisi. Hingga semua anak Merah Putih pun mengetahuinya. Begitu juga dengan Rawi. Laki-laki itu segera menuju rumah sakit usai jam sekolah berakhir. Ia belum sempat meminta maaf, pun menebus dosanya. Serta, Lana perempuan kuat, kan? Gadis itu pasti baik-baik saja.

Setelah memarkirkan motornya, Rawi berjalan cepat menuju pintu utama rumah sakit. Ia menuju resepsionis untuk bertanya.

"Permisi, Sus. Ruangan atas nama Lakuna di mana, ya?" tanyanya dengan napas tersengal karena terburu-buru.

"Maaf, bisa beritahu nama lengkapnya?"

Rawi mengutuk dirinya sendiri, ia lupa nama lengkap Lana. "Ehm, yang kecelakaan tadi siang di dekat Taman Sari, Sus."

"Ohh, anak sekolahan itu, ya?" Rawi mengangguk cepat sambil tersenyum tipis. "Ada di lantai tiga ruangan Melati nomor sebelas, Kak."

"Terima kasih, Sus." Rawi segera berlari menuju lift. Tangannya bergetar saat menekan tombol tiga. Jantungnya berdegup kencang sekarang. Entah mengapa, ia takut akan sesuatu. "Semoga lo baik-baik aja, Na."

Ting.

Pintu lift terbuka, Rawi kembali melanjutkan langkahnya dengan sedikit berlari. Melihat nama ruangan satu per satu hingga berhasil menemukan ruangan Lana. Sebelum akhirnya masuk, Rawi menarik napas panjang.

"Assalamualaikum."

Dari awal masuk, Rawi melihat ada sosok wanita dan pria yang duduk di sofa. Itu pasti kedua orang tua Lana, batinnya.

"Waalaikumsalam, teman Lana?" Bima berdiri dari duduknya. Mendekati Rawi yang baru saja tiba.

"Iya, Om," balas Rawi menyalami tangan Bima juga Wina dengan sopan. "Lana, baik-baik aja, kan, Om?"

Bima hanya diam. Ia menoleh ke arah Lana yang sejak tadi hanya diam di depan jendela. Usai menjelaskan semuanya, Lana tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

"Temani saya ke kantin dulu, yuk. Sekalian kita ngobrol."

^•^

"Na," panggil Rawi mendekati Lana.

"Siapa?"

Spontan Rawi memejamkan kedua matanya. Usai mengetahui fakta tentang Lana, ia sangat terpukul. Bagaimana dengan Lana yang merasakannya langsung?

"Ini gue, Rawi."

Mendengar nama itu, Lana tersenyum kecut. "Mau apalagi dari gue, Wi?" tanyanya membuat Rawi menelan ludahnya dengan kasar. "Gue udah hancur banget sekarang. Gue hidup, tapi jiwa gue udah lama mati. Udah puas belum nyakitinnya?"

"Gue minta maaf, Na."

Rawi terduduk lesu di depan Lana. Ia meraih tangan gadis itu, tetapi Lana langsung menepisnya dengan kasar.

"Gue gak tau apa yang ngerasukin diri gue saat itu. Gue menyesal, Na."

"Menyesal pun gak ada gunanya lagi sekarang," sindir Lana yang sudah lelah dengan segalanya. "Lebih baik lo pergi aja. Gue butuh waktu sendirian."

"Na, demi Tuhan, gue cuma pengen bisa dekat sama lo, gak ada niat lain."

"TAPI DENGAN CARA MEMPERMALUKAN GUE KE SEMUA ORANG?"

"GUE HARUS NAHAN MALU!"

GUE HARUS TERLIHAT BIASA AJA SAAT ORANG LAIN TERANG-TERANGAN NGOMONGIN BADAN GUE!"

"Tapi lo berperan seolah pahlawan yang selalu ada di setiap duka gue," lirih Lana menundukkan kepalanya. "Lo boleh suka sama gue, gak ada larangan, kok. Bahkan untuk dekat, gue welcome, tapi kenapa harus dengan cara itu, Wi? Secara gak langsung lo udah menunjukkan diri lo yang sebenarnya. Menunjukkan kalau lo itu egois, pengen mendapatkan apapun dengan menghalalkan semua cara."

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang