27: Pemiliknya Harus Tetap Lana

32 3 4
                                    

Lana menutup pintu mobilnya dengan kencang. Pagi ini selalu ada saja yang membuat mood-nya memburuk. Melihat kedatangan Ibas bersama Naya, contohnya.

"Wah, pagi yang menyenangkan," terang Lana menyindir keduanya secara terang-terangan. "Katanya gak bisa jemput, ternyata bareng sama Naya, ya? Kirain mau ngantar Siren sekolah," sambungnya berjalan mendekati mobil Ibas.

"Tadi mobil gue pecah ban, Na. Jadinya minta tolong Ibas buat jemput, juga rumah kami satu arah, kan?" Naya bersuara lebih dulu, memberi penjelasan agar sahabatnya itu tidak salah paham. "Iya, kan, Bas?"

Tampak Ibas yang menyetujui ucapan Naya dengan kepala mengangguk. "Sekalian antar Siren juga, Na. Kamu jangan curiga gitu, deh."

Memutar bola matanya malas, Lana kembali melontarkan kata, "siapa yang curiga? Asal kamu sama Naya tahu batas aja."

"Yuk, aku antar ke kelas," ajak Ibas merangkul pundak gadisnya dengan mesra. Meninggalkan Naya seorang diri di area parkir. "Udah sarapan belum?"

"Belum," jujur Lana sedikit mendongak agar bisa menatap wajah Ibas. "Soal cafe, aku minta maaf, ya?"

"Gak masalah, asal kamu jangan kecapean dan pintar atur waktu buat istirahat," pesan Ibas mencubit pipi Lana dengan gemas. Bukannya belok ke arah kanan menuju kelas Lana, ia justru mengajaknya untuk lurus.

"Kita sarapan dulu, aku suapin."

Bagaimana Lana bisa marah jika Ibas semanis ini dalam memperlakukannya? Naya boleh dekat dengan kekasihnya, tetapi Ibas tetap akan menjadi miliknya. Seseorang yang dicintai dan mencintainya akan menjadi milikinya.

Milik Lana—selamanya.

^•^

Bel istirahat berbunyi, bukannya pergi ke kantin Lana justru harus mengembalikan buku-buku yang sudah digunakan ke perpustakaan. Sejak tadi ia tidak henti mengomel, sebab takut kehabisan mie ayam kesukaannya.

"Permisi, Bu." Lana mengetuk pintu sebelum masuk, meletakkan buku-buku tebal itu di atas meja. "Saya izin mau balikin bukunya."

"Bisa tolong bantu susun lagi ke tempatnya gak?" tanya sang penjaga yang dibalas anggukan kepala oleh Lana. Baiklah, mungkin hari ini ia tidak akan makan mie ayam. "Di sudut belakang sebelah kiri, ya," sambungnya memberi arahan.

Lana berjalan mengikuti arahan yang sudah diberikan. Samar-samar ia mendengar suara seseorang yang sedang tertawa. Mungkin ada siswa lain yang sedang belajar.

"Kan, gue udah bilang, dulu maupun sekarang, lo tetap cantik di mata gue, Naya."

Deg.

Kaki Lana langsung terhenti di tempatnya. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Suara itu, bukan suara asing lagi di telinganya. Pelan-pelan ia mendekati asal suara. Berdiri tepat di belakang lembari.

"Tapi kenapa lo gak ngenalin gue, Bas?"

"Soalnya lo tambah cantik, Nay. Gue sulit mengenali lo, untung lo masih ingat sama gue."

Detik itu juga, Lana merasa dunianya terhenti. Kedua matanya menatap lurus ke arah depan. Apakah ia sedang bermimpi? Sungguh, ini adalah mimpi terburuk dari yang pernah ada.

Tepat di hadapan Lana, ia melihat begitu jelas bagaimana Naya dan Ibas yang sedang berpelukan di sudut belakang sebelah kiri. Lantas, bagaimana cara Lana mengembalikan buku-buku ini?

"Lo cantik banget hari ini, Nay," puji Ibas mendekatkan wajahnya pada wajah Naya. "Sialnya, kenapa lo lebih cantik dari Lana?"

Shit! Lana tidak terima dengan penuturan yang baru saja dilontarkan Ibas. Telinganya merasa panas, kedua matanya pun ikut menyalang. Menandakan jika dirinya benar-benar hancur melihat kejadian itu.

Bodohnya, Lana tidak bisa berbuat apa-apa. Kakinya seakan lemas, sulit untuk mendekati mereka agar sadar jika yang dilakukan sudah melewati batas. Bukankah tadi pagi ia sudah memberikan petuah? Hah! Mereka menganggapnya sebagai angin, ternyata.

"Lana gak akan tahu kita di sini, kan?" Naya memeluk leher Ibas. Menatapnya dengan senyuman yang membuat Lana ingin muntah. "Coba aja kalau yang ketemu sama lo duluan itu gue, bukan dia. Pasti yang jadi pacar lo sekarang itu gue."

"Brengsek," maki Lana yang hanya bisa ia ucapkan sebatas lirihan. Entah mengapa, ia tidak memiliki kekuatan lebih untuk melerai keduanya. Seakan energinya lenyap begitu saja.

Tanpa mau berlama-lama, Lana segera meninggalkan area perpustakaan, dan meletakkan buku-bukunya secara asal.

"Anjing lo Naya," umpat Lana mengepalkan kedua tangannya. Ternyata, apa yang dicurigai Ayi selama ini benar adanya. Naya menyukai kekasihnya.

Sebelum benar-benar pergi dari perpustakaan, Lana menoleh ke belakang. Menatap ruangan itu penuh dendam.

"Lo gak segampang itu buat rebut punya gue, Naya."

^•^

"Tapi, Na, hari ini gue sama Ibas mau belajar bareng lagi," bantah Naya tak terima dengan keputusan Lana yang mendadak. "Gue udah janjian dari kemarin-kemarin sama dia."

Lana mengetuk jarinya pada dagu. "Bukannya kemarin-kemarin lo udah ngabisin banyak waktu sama cowok gue, ya?" tanyanya sengaja menekan kata 'cowok gue' agar Naya paham dengan posisinya yang sebenarnya.

"Sekarang gantian, dong. Gue mau habisin waktu sama dia. Mau pergi nonton, makan bareng, main time zone, salah emang?"

Akan Lana tunjukkan siapa pemilik sebenarnya di sini. Agar Naya sadar diri di mana posisi gadis itu.

"Biarin aja, lah, Nay," bela Ayi menyender di bagian depan mobil Lana. "Lagian, Lana lebih berhak, kan dia pacarnya."

Good! Lana sangat menyukai Ayi yang berterus terang seperti itu. "Benar banget, Ay. Jadi, hari ini belajarnya batalin dulu, ya?"

"Untuk kamu apa yang enggak, sih?" Ibas mengacak rambut Lana. Mencium dahinya sekilas lalu menatap Naya. "Belajarnya kita ganti lain kali aja bisa kan, Nay?"

"Tapi besok-besok gue takut gak bisa," tolak Naya yang sangat jelas jika dirinya tidak suka dengan permintaan Lana. "Lagian, kalian udah sering jalan bareng, kan?"

"Heh, Naya!" Ayi mencela lebih dulu. "Kok, lo jadi tukang atur dihubungan orang? Kalau bukan karena Lana, Ibas gak bakal mau ikut lomba bareng lo!"

Naya membuang napasnya kasar. "Oke, silakan kalau kalian mau pergi."

"Gitu, dong. Banyak drama banget," sindir Ayi yang langsung menerima kunci mobil Lana. "Have fun, ya!"

Mobil Silver milik Ibas melaju ke luar dari area sekolah. Tersisa Naya dan Ayi yang hanya saling pandang.

"Jadi manusia jangan maruk, Nay," tegur Ayi tanpa takut jika ucapannya menyakiti Naya. Meski Naya adalah sahabatnya, ia tidak akan segan untuk menegur jika memang melakukan kesalahan. "Sama Ibas mau, sama si ketua basket juga mau, rata-rata lo gak suka banget kalau semua cowok gak berpusat di lo."

"Ayi, cukup!" Naya berteriak marah. "Tahu apa lo tentang gue?"

"Haus perhatian, ya?" Ayi cekikikan dengan ucapannya sendiri. "Sifat lo itu sok polos, tapi aslinya pick me abis! Cuma orang bodoh yang gak sadar sama sifat asli lo."

"AYI!" Naya berjalan mendekati sahabatnya, menatap Ayi sambil melirik ke arah kiri dan kanan secara bergantian.

"Kenapa, Nay? Takut orang-orang ngelihat sifat asli lo, ya?" tanya Ayi yang tepat sasaran. "Gue harus lebih sering sadarin Lana kalau salah satu dari sahabatnya ini ada yang mau rebut cowoknya."

"Diam!"

"Mau perkenalan ulang gak?" Naya mengerutkan dahinya tak mengerti dengan ucapan Ayi.

Melihat tidak ada respon, Ayi segera mengulurkan tangannya. "Gue Ayi, biar gue tebak nama lo itu ...."

"... Nayanika? Ah, gue salah! Zeira?"

^•^

Surakarta, 27 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang