08: Anak Ayah

50 6 7
                                        

Hari yang sangat membosankan. Lana berjalan gontai memasuki rumah. Hari Rabu termasuk hari menyebalkan baginya. Lana sangat tidak menyukai mata pelajaran Kimia dan Fisika yang dipersatukan dan itu terjadi hari ini.

Sepertinya, Lana membutuhkan obat yang bisa memberikan ketenangan sekarang.

Prang.

Lana tersentak. Ia menatap ke arah lantai. Semuanya berserakan dan hancur berkeping-keping. Namun, Lana seolah mengenali benda itu.

Tunggu.

"Ini?" Lana berjongkok untuk memastikan. Benar saja, ini adalah gelas yang ia beli tempo hari.

"Ma." Lana mendongak. Menatap Tari yang berkacak pinggang di hadapannya.

Bukannya merasa bersalah karena sudah menghancurkan barang milik sang anak, justru yang terjadi sebaliknya. Tari tampak seolah tidak melakukan apa-apa.

"Kenapa Mama hancurin barang aku?!" Lana berdiri dan menatap Tari tajam. Ah, sial. Gelas ini termasuk gelas yang memiliki harga mahal dan tabungan Lana tersisa hanya untuk menyewa ruko.

Tak lama dari itu, Tari melemparkan kertas ke wajah Lana. Kertas itu adalah surat perjanjian sewa tempat yang akan ia jadikan sebagai cafe.

"Apa itu, Lakuna?!"

Lana terdiam. Lidahnya terasa kelu dan tak mampu menjawab. Bagaimana ini? Haruskah ia jujur saja dan memberitahukan rencananya kepada Tari?

"JAWAB MAMA!"

Suara Tari menggema begitu besar. Lana sampai tersentak mendengarnya. "Aku mau buka usaha sendiri," balasnya mencoba jujur saja. Sudahlah, tak ada gunanya menyembunyikan hal ini dari Tari. Ibu kandungnya itu sangat suka masuk ke kamarnya. Padahal, Lana selalu menguncinya sebelum pergi, tetapi Tari pasti punya kunci cadangan.

"Batalkan!" telak Tari tanpa bisa diganggu gugat. "Kenapa, sih, Na? Uang dari Mama kurang? Uang dari ayah kurang juga?"

Bukan, Lana bukan mempermasalahkan hal itu. Ia sama sekali tidak kekurangan dari segi finansial, tetapi Lana hanya ingin mencoba untuk mandiri. Memiliki usaha sendiri, penghasilan sendiri, juga berjuang seorang diri. Ia tak ingin bergantung selamanya.

"Bukan gitu, Ma. Aku mau belajar mandiri, apa salahnya?"

"Salah!" Tari tak ingin kalah sepertinya. "Kamu harus fokus belajar, Lakuna. Kamu udah kelas sebelas dan sebentar lagi akan kelas dua belas. Mama gak mau nilai kamu semakin turun dan turun."

"Nilai bukan segalanya, Ma," bantah Lana yang jelas tidak terima. Lana memang tidak sepintar anak-anak di luar sana. Ia paling malas jika tentang belajar. Bahkan ia tak segan untuk tidur saat jam pelajaran berlangsung. Lantas, dengan cara inilah Lana ingin berkembang.

Tari terkekeh sinis. "Kamu bisa berbicara seperti itu karena kamu gak pintar kayak Nada."

Nada lagi, Nada lagi. Lana bisa apa? Iya, Nada itu pintar, saking pintarnya terlalu sering membuat drama.

"Kamu harus bisa masuk ke jurusan Kedokteran. Jangan malu-maluin Mama, Lakuna!"

"Sejak kapan, sih, Ma?" Lana bertanya dengan suara bergetar. "Yang aku tahu, orang tua di luar sana bakalan bangga sama anaknya yang mau belajar mandiri."

"Aku emang gak sepintar Nada, aku juga gak yakin bisa penuhi ekspetasi Mama buat masuk Kedokteran, tapi Mama harus tahu satu hal."

Lana mendongakkan kepalanya sesaat. Mencoba menghalau air matanya yang sebentar lagi akan turun.

"Cuma cara ini, aku bisa maju dengan sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Tanpa Mama, tanpa papa, juga ayah. Aku mau berdiri sendiri, Ma."

Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Tari terdiam terpaku mendengar semua untaian kata yang dilontarkan oleh putri bungsunya. Entah mengapa, hatinya sedikit terenyuh mendengar itu semua.

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang