38: Jihan Tahu

20 2 1
                                    

"Saya terpaksa memberi kamu skors, Lakuna," ucap Bu Andin menyerahkan surat berlogo SMA Merah Putih. "Karena video itu sudah tersebar ke mana-mana, saya minta kamu untuk segera memberi klarifikasi kepada masyarakat."

"Untuk apa lagi?" Lana bertanya dengan nada yang terdengar pasrah. "Semuanya sudah lihat video saya. Saya juga tidak bisa mengelak, karena memang yang di dalam video itu saya sendiri."

"Kalau begitu, saya akan memberikan surat panggilan untuk orang tua kamu."

Mendengarnya Lana terkekeh, ia menatap Bu Andin lebih lekat. "Saya tanya, orang tua mana yang mau datang ke sekolah dengan kasus seperti itu? Termasuk orang tua saya, mereka tidak akan peduli, lebih tepatnya, malu."

Bu Andin berdeham, kembali melanjutkan ucapannya, "kalau begitu, ceritakan yang sebenarnya, Lana. Apa yang terjadi sama kamu? Siapa yang melakukan itu? Apa kamu tidak ingin pembelaan untuk diri kamu sendiri?"

Pembelaan? Rasanya, Lana ingin tertawa keras. Orang tuanya saja tidak mempercayainya. Lantas, apa yang diharapkan? Biarlah orang lain menilainya dengan pemikirannya sendiri.

"Dari awal, saya memang bukan perempuan baik-baik," aku Lana mengalir begitu saja. Untungnya, di dalam ruangan kepala sekolah ini hanya ada dirinya dan Bu Andin. Ia bisa leluasa untuk berbincang. "Saya mengaku, selama ini, pergaulan saya sangatlah bebas. Merokok, club malam, alkohol kalau mau, gak bisa tidur kalau gak minum kopi. Jadi, jika mereka menilai saya buruk, memang begitulah adanya."

"Saya tidak ingin berkoar untuk mengatakan jika saya tidak seperti yang mereka pikirkan, itu melelahkan, Bu."

Bu Andin terdiam. Ia menatap kedua bola mata Lana. Dari tatapan itu, ia bisa melihat banyak hal. Kekecewaan, juga luka yang sering dipendam.

"Dibanding membela diri, saya lebih baik diam. Sebab, penilaian mereka tidak membawa pengaruh apa-apa kepada saya."

Nyatanya, semua pengakuan yang dilontarkan Lana adalah kebohongan semata. Ia seolah menunjukkan jika dirinya tidak selemah itu. Bukan sosok yang mengandalkan penilaian orang lain, tetapi jika begini, siapa yang mau?

Lana masih remaja. Umurnya sangat muda untuk merasakan kepahitan ini. Di saat semua perempuan bisa berpergian secara bebas, Lana justru sedikit ketakutan. Sebab semua orang, sudah melihat t*b*hnya.

Nasi sudah menjadi bubur. Lana juga tak bisa memutar waktu untuk mencegah apa yang seharusnya tidak terjadi.

"Semoga kamu berubah pikiran dan mau buka suara."

^•^

Saat ini Lana sudah lupa kapan terakhir kali ia makan. Ia tidak mempedulikan dirinya sendiri lagi. Justru yang dilakukannya adalah terus menyakiti. Menghisap rokok tanpa henti, juga kafein yang biasanya hanya dua kali dalam sehari, kini bahkan bisa sampai lima atau enam kali.

"Lana, udah!" Rawi segera merebut rokok yang sedang dihisap Lana. Menatapnya dengan tatapan sendu. "Gue tahu lo lagi banyak pikiran, tapi gak gini juga caranya, Na."

"Tahu apa, sih, Wi?" Sejak videonya beredar, Lana bukan lagi sosok yang mudah mengontrol emosi. Gadis itu justru mudah tersinggung sekarang. "Gue berusaha buat lupa sama semuanya dan ini cara gue."

"TAPI CARA LO ITU NGERUSAK TUBUH LO SENDIRI!"

Suara teriakan itu berhasil mengundang perhatian para pengunjung cafe sore ini. Mereka yang berada di lantai satu pun kompak menatap ke arah kasir. Melihat barista dan pemilik cafe yang sedang adu mulut.

"Gue emang udah rusak sejak waktu itu! Puas lo?!" Lana mendorong Rawi agar tidak menghalangi jalannya. Entahlah, padahal Rawi sudah berusaha banyak untuk menghiburnya, tetapi tetap saja. Mendengar kata-kata itu sangatlah sensitif di telinganya.

Merasa bersalah, Rawi segera menyusul Lana yang masuk ke ruangan belakang. "Na, maaf omongan gue tadi ngelantur. Gue gak senga—

"Gak perlu, omongan lo benar, kok," potong Lana cepat. Ia melepas afron-nya, berniat untuk pergi entah ke mana agar bisa menenangkan pikirannya yang kembali kacau.

Mengerti akan situasi, Rawi segera menahan pergerakan Lana. "Lo mau ke mana?" tanyanya meminta penjelasan.

Tidak ada respon apapun dari Lana, gadis itu justru segera melangkah ke luar. Namun, baru saja hendak melewati kasir, kakinya terhenti seolah tertahan sesuatu.

"Kak Ji?"

"Aku rasa, kita berdua harus ngobrol sebentar."

^•^

Tidak ada pembicaraan setelah Jihan membawa Lana pergi ke pantai. Keduanya hanya diam menikmati desiran ombak yang ada di depan mata. Juga angin malam yang menusuk hingga ke kulit.

Bosan karena tidak ada pembicaraan, Lana berdiri dari duduknya. "Kalau tahu gini, gue banyak kerjaan lain, Kak."

Jihan mendongak. Menatap sang adik dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia kembali menepuk tempat duduk Lana sebelumnya dengan senyuman yang masih terpatri.

"Duduk dulu, Kakak baru ketemu kata yang pas buat memulai cerita."

Menurut saja, Lana kembali duduk di tempat awalnya. Menatap lurus ke arah pantai yang sebenarnya sudah menggelap.

"Sebelum menikah lagi, sikap papa yang kasar makin bertambah," ungkap Jihan sukses membuat Lana menoleh menatapnya. "Aku awalnya mencoba untuk bertahan. Sampai akhirnya, aku tahu kalau papa sakit. Papa terus berusaha untuk sembuh dan akhirnya menikah lagi."

"Karena aku mau belajar mandiri, akhirnya aku pindah ke apartemen yang aku beli pakai uang sendiri."

"Alasannya cuma karena pengen mandiri?" Lana tak habis pikir dengan kakaknya. "Dan lo biarin papa tinggal sama wanita perusak itu?"

"Perusak, ya?" Jihan mengangguk mengerti. Mungkin, Lana sudah mengetahui segalanya. "Ternyata kamu udah tahu duluan ceritanya. Walaupun begitu, aku gak bisa menapik satu hal kalau mama tiri kita itu sebenarnya orang baik."

Hah! Lana ingin tertawa keras. "Gak ada wanita baik yang mau merusak rumah tangga orang lain."

"Kamu mungkin belum kenal aja," bantah Jihan mengerti jika Lana yang belum bisa menerima semuanya. "Apalagi, Cia. Dia adik yang menggemaskan."

"Cih, sampai kapan pun aku gak sudi anggap mereka sebagai keluar—

"Karena Ibas?"

Deg.

Seketika Lana terdiam. Ia menatap Jihan bingung sekaligus terkejut. "Dari mana lo kenal sama Ibas?"

"Loh, dia anaknya bunda Wina, pacar kamu kan?"

Mampus. Lana tak bisa mengelak lagi. Kenapa Jihan bisa mengetahui semuanya secara detail seperti itu?

"Aku tahu apa yang terjadi sama kamu sekarang, Na." Jihan menarik tangan sang adik. Menggenggamnya erat seolah memberi kekuatan. "Soal video itu aku juga udah tahu. Tenang, aku gak akan menghakimi kamu."

Kedua mata Lana mengerjap pelan. Ia seakan terhipnotis dengan apa yang dilakukan oleh Jihan sekarang.

"Aku juga tahu siapa cowoknya," tambah Jihan lagi semakin membuat Lana terkejut. "Sebisa mungkin, aku akan bantu menyelesaikan masalah kamu. Kalau perlu, kita pindah sekolah aja. Atau kamu mau kita pindah kot—

"Cukup, Kak!" Lana segera berdiri dari duduknya. Menatap Jihan dengan air mata yang mengenang. "Gue tahu lo peduli, makasih atas kepeduliannya, tapi gue bukan anak kecil lagi. Gue bisa selesaikan semuanya sendiri."

"Tapi, La—

"Kenapa baru sekarang?!" tanya Lana meninggikan suaranya. "Kenapa baru sekarang lo mau peduli sama gue? Ke mana aja lo selama ini? Sembunyi dalam goa?"

Jihan mengatupkan kedua bibirnya rapat. Tak menyangka jika respon yang diberikan Lana sangat jauh dari ekspetasi. Ia justru berharap jika Lana mau menerima pertolongannya.

"Lagian, sejak awal gue udah biasa ngelakuin semuanya sendiri. Bahkan, sampai di titik ini, gue tetap sendirian."

"Mama sama keluarga barunya, papa juga, dan lo yang punya kehidupan sendiri. Begitu pun dengan gue."

^•^

Surakarta, 07 Januari 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang