21: Ego Merusak Segalanya

33 3 5
                                    

Terhitung sudah dua hari Lana berada di rumah sakit. Padahal, semuanya sudah membaik. Jahitan di bagian perutnya pun tak ada masalah, tetapi Darma begitu melarangnya untuk pulang cepat. Beruntung hari ini ia diperbolehkan pulang ke rumah.

Selama itu pula, Tari tidak menampakkan batang hidungnya. Begitu juga dengan Ibas yang sama sekali tidak memberi kabar apalagi datang menjenguknya. Hanya Darma dan Ayi yang selalu senantiasa menemaninya.

"Na, jangan sedih gitu, dong," hibur Ayi sambil membantu menyusun barang-barang milik Lana. "Gue yakin, mama lo pasti ada urusan mendesak, kalau gak penting banget pasti di—

"Emang ada urusan yang lebih penting dari anak sendiri?" Lana memotong dengan tatapan lurus ke depan. Wajahnya masih terlihat pucat kini, tetapi tidak menghilangkan kadar kecantikan seorang Lana.

"Gue tahu betul gimana sifat mama gue, Ay. Jadi, lo gak perlu ngasih kata-kata positif," tambah Lana sambil berjalan ke arah kamar mandi. Berniat untuk mencuci wajah dan mengganti pakaian.

Ayi terdiam di tempatnya. Hembusan napas kasar terdengar setelah Lana menutup pintu kamar mandi. Pasti sahabatnya merasa sedih karena ketidakhadiran sang ibu di saat dirinya sangat membutuhkan perhatian.

Ceklek.

Pintu ruangan terbuka, Ayi mengira jika itu Darma, tetapi yang datang adalah Tari bersama Nada. Menghargai kehadiran ibu dari sahabatnya, Ayi menyambut dengan menyalami tangannya.

"Tante," sapa Ayi tersenyum tipis. "Lana nya lagi di kamar mandi ganti baju."

Nada memasang wajah polos lalu duduk di sofa. Tidak mengeluarkan suara apapun untuk sekadar menyapa. Sebab kadar etika seorang Nada sangatlah tipis.

"Ay, ini baj—

Lana menghentikan ucapannya kala melihat kehadiran orang lain di ruangannya. Seketika ia tersenyum sinis.

"Ngapain ke sini?" Lana bertanya dengan nada menyindir. Ia cukup gengsi untuk mengatakan jika dirinya sangat menginginkan pelukan Tari saat ini. "Masih ingat kalau punya anak yang hampir mati?" sindirnya lagi berjalan mendekati meja yang berada di samping brankar. Meletakkan baju pasiennya di sana.

"Lo gak tahu terima kasih, ya?" Bukan Tari yang menimpal, tetapi Nada lebih dulu bersuara. Ia berdiri, menampilkan wajah menantang. "Mama sibuk ngurusin pesanan baju yang lagi numpuk. Ini aja dia sempatin waktu buat jenguk lo!"

Lana mengangguk tersenyum. "Ohh, pesanan, uang lebih penting dari anak sendiri, ya?"

"Kalau lo lupa, lo dirawat di sini emang gak bayar?"

Seketika suasana semakin panas. Ayi tak berani ikut campur. Sebab ini adalah urusan keluarga Lana. Ia merasa tidak berhak untuk bersuara.

"Kenapa lo selalu ikut campur, sih, Nad?" Lana menampakkan wajah bingung. "Lo emang adik tiri gue, tapi bukan berarti semua hal tentang gue lo bisa ikut campur. Emang lo punya peran penting apa di hidup gue?"

"Lana! Jaga bicara kamu!"

"Apa?!" balas Lana cepat, penuh emosi. "Mau belain Nada lagi? Nada aja terus! Ma, anak kandung Mama siapa, sih? Aku atau dia?!"

Tari memejamkan matanya sejenak. "Mama datang ke sini baik-baik, loh, Na. Mama capek ribut terus sama kamu. Mama datang ke sini artinya Mama masih peduli, kan?"

Bolehkah Lana tertawa keras sekarang? Ia bukan bodoh, juga bukan anak kecil yang begitu mudah untuk dibohongi.

"Bukan karena bujukan dari ayah?"

Telak. Tari terdiam lalu menjawab gugup, "kamu kenapa, sih, Na? Selalu cari bahan ribut sama Mama?"

"Terserah, aku mau pulang." Lana meraih ranselnya, memberi kode pada Ayi agar segera pergi dari ruangan ini. "Buruan, Ay," ajaknya tanpa berpamitan.

Maafin Lana, Ma.

^•^

Ayi bingung ingin berbicara apa. Sebab, sejak ke luar dari rumah sakit hingga berada di dalam mobil Lana hanya diam. Sesekali ia melirik ke kanan untuk memastikan jika sahabatnya itu baik-baik saja.

"Na?"

Tidak ada sahutan yang terdengar. Ternyata Lana sibuk membongkar isi tasnya—mencari benda yang bisa menenangkan pikirannya.

"Gak ada rokok, Lana!" Ayi segera merebut benda laknat itu. Untung saja keadaan jalan yang sepi membuatnya sedikit lebih leluasa. "Lo lupa ingatan kalau lo baru aja pulang dari rumah sakit?"

"Cerewet banget, sih, Ay," cibir Lana berdecak kesal. Dengan kasar ia merebut bungkus rokoknya. "Gue lagi butuh nyebat sekarang—sebatang aja, gak lebih."

"Jangan anterin gue pulang, kita ke lokasi cafe gue aja," pinta Lana yang terdengar seperti perintah. Ia membuka kaca jendela agar tidak bau rokok. "Muak banget di sana, Ay."

"Jangan terlalu sering berantem sama nyokap lo, Na," nasihat Ayi berubah menjadi serius. Ia menuruti permintaan sang sahabat untuk pergi ke lokasi cafe-nya. "Walaupun mama lo egois, setidaknya dia udah meluangkan waktu buat datang ke rumah sakit."

"Iya, gue tahu tante Tari juga salah, tapi perihal waktu siapa yang tahu, Na? Hargai dan sayangi selagi masih ada. Gue gak mau lo juga kayak gue yang gak bisa lagi ngerasain kasih sayang ibu."

Bukannya merenung saat mendengar ceramah dari sang sahabat, Lana justru berdecih. "Ada sosoknya pun gue gak merasakan ada, Ay. Lo gak bakal paham gimana di posisi gue. Dunia itu lucu, gue lebih disayang sama ayah tiri dibanding ibu kandung gue sendiri."

"Itu mungkin sudut pandang lo, tapi pernah gak lihat dari sudut yang lain?"

Lana menghembuskan asap rokoknya sebelum kembali menjawab, "maksud lo?"

"Sikap keras dari mama lo itu, dia tahu karena lo kuat, bisa berdiri sendiri, sedang Nada? Dia masih anak kecil yang butuh kasih sayang seorang ibu karena bundanya udah lama meninggal."

Seketika Lana terdiam. Yah, Nada ditinggal ibu kandungnya saat masih kecil. Kalau tidak salah, Lana mendengar cerita dari Darma jika Nada ditinggal ibunya sejak umur tujuh tahun.

"Siapa yang lebih butuh kasih sayang dan penopang dari seorang ibu? Nada, Na. Sedangkan lo, kenapa bisa sedekat itu sama om Darma yang jelas dia ayah tiri lo?"

Spontan Lana menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Otaknya dipaksa untuk memikirkan setiap untaian kata yang diucapkan Ayi. Sejak kapan Ayi bisa sebijak ini?

"Karena om Darma tahu, di pernikahan mama lo sebelumnya, lo gak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayah kandung lo. Justru yang didapat kekerasan."

"Jadi, tanpa perlu mikir siapa yang lebih sakit dari siapa, matiin dulu ego lo. Sebab kita gak tahu seberapa lama masa orang itu di hidup kita."

Benar, apa yang dikatakan oleh Ayi tidak salah sama sekali. Pikirannya jadi terbuka dengan semua nasihat itu. Akan tetapi, masih ada yang mengganjal dalam pikirannya.

"Tapi lo masih belum ngerti tentang satu hal, Ay."

Lana membuang sisa rokoknya yang entah mengapa kali ini terasa hambar.

"Itu dari penilaian mata lo, tapi sebenarnya, hidup gue gak sesimpel itu."

^•^

Surakarta, 21 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang