19: Sedikit Cemburu

36 4 5
                                    

Hari yang ditunggu telah tiba. Semua murid SMA Merah Putih sudah berkumpul sejak pagi tadi. Tampak dari wajah-wajahnya yang penuh semangat dan ceria. Sebab perayaan ulang tahun sekolah kali ini diadakan acara camping selama tiga hari berturut-turut.

"Ay, lo mandi gak tadi?" Naya menutup hidupnya, menatap Ayi curiga. Ada aroma tidak sedap yang mengganggu penciumannya sejak tadi. "Gue yakin lo gak mandi dulu kan? Gak pakai deodorant sama bedak juga?"

"Naya," tegur Lana halus, lalu mengeluarkan parfum yang selalu sedia di dalam tasnya. Ia memberikannya kepada Ayi agar bisa mengurangi aroma tidak sedap itu. "Nih, pakai aja. Tenang, tahan seharian, kok," sambungnya tersenyum meyakinkan.

"Lo jangan bilang gitu sama Ayi, kalau orang lain dengar gimana?" Lana menegur Naya dengan suara berbisik. Takut jika orang lain mendengar obrolan mereka. "Ayi lagi proses penyembuhan. Lo harusnya ngedukung, bukan provokatif kayak tadi."

Tahu jika menjadi bahan obrolan kedua sahabatnya, Ayi hanya menundukkan kepalanya dalam. Sungguh, ia lupa jika belum mandi karena terburu-buru, takut ketinggalan bus.

"Ayi, gue minta maaf," rengek Naya memeluk lengan sahabatnya dengan manja. Tanpa sadar ia telah menyakiti perasaan sahabatnya.

"Gak masalah kok, gue juga tahu diri," maklum Ayi tersenyum tipis meski hatinya sedikit tergores. Namun, siapa yang tahan jika berdiri di sampingnya dengan aroma seperti itu?

"Gimana caranya lo bisa dapat izin, Na?" Naya langsung mengalihkan topik pembicaraan mereka. Masih ada waktu lima menit sebelum akhrinya mereka berkumpul di area parkir.

Lana mengibaskan tangannya. "Gue minta izinnya sama ayah, soalnya lagi ribut sama nyokap," balasnya mengangkat bahu acuh. Tak peduli jika setelah pulang dari sini Tari akan marah besar dengannya.

Baik Ayi maupun Naya, keduanya mengangguk mengerti.

"Eh, kalian duduk sama siapa?" tanya Naya yang tak pernah melunturkan senyumnya. "Gue sama Ibas, Na, gak masalah, kan?"

"Santai, Ibas tipe cowok yang setia, kok," gurau Lana yang langsung terbahak setelahnya. "Gue juga duduknya sama Rawi. Jadi, kita satu sama. Saling jaga perasaan aja, lah."

"Setidaknya, lo tahu diri, Nay, kalau Ibas itu cowoknya Lana," timpal Ayi membuang pandangannya ke arah lain.

Bukan tidak mungkin jika Naya menyukai Ibas atau bisa terjadi sebaliknya. Sebab Naya banyak disukai kaum Adam, tetapi sampai sekarang sahabatnya itu belum memiliki kekasih. Entahlah, mereka tidak tahu sosok seperti apa yang diinginkan oleh Naya.

"Sama Rawi, Na?" Seperti angin yang berhembus begitu saja, ucapan Ayi tidak digubris sama sekali. Naya asik berbincang bersama Lana saja. "Lo beruntung, sih, bisa sedekat itu sama Rawi."

"Lawak, sedekat apanya? Gue aja gak terlalu kenal sama dia," bantah Lana tak terima dengan perkataan Naya.

"PENGUMUMAN! UNTUK SELURUH MURID SMA MERAH PUTIH SILAKAN BERKUMPUL DI AREA PARKIR SEKARANG!"

"SEKALI LAGI. KEPADA SELURUH MUR—

"Yuk, kita ke sana."

^•^

Sepertinya Lana tidak terlalu kesal karena yang duduk di sampingnya adalah Rawi. Sebab laki-laki itu membawakannya satu cup americano.

"Kok, lo kepikiran buat bawa ini?" tanya Lana penasaran, mengangkat cup berisi americano itu ke hadapan Rawi.

"Kemarin kita gak sempat minum kopi, kan? Jadi, gue bawain buat lo. Lagian, perjalanannya lumayan memakan waktu."

Bolehkah Lana sedikit terpukau dengan perlakuan Rawi? Teman sekelasnya ini begitu perhatian. Seketika Lana teringat kejadian di cafe waktu itu.

"Aish, lo jadi tahu kehidupan kelam keluarga gue, deh," kata Lana mengerucutkan bibirnya kesal. "Jangan kasih tahu sama siapa-siapa, ya? Naya juga, Ayi apalagi."

"Itu bokap lo?" tanya Rawi langsung dibalas anggukan kepala oleh Lana. Gadis itu mulai menikmati americano miliknya dengan senyuman yang begitu manis.

"Tenang aja, gue gak sesuka itu bongkar rahasia orang lain."

Perjalanan menuju lokasi camping berjalan dengan lancar. Tidak ada yang membosankan. Sebab para guru yang banyak memberikan hiburan, juga anak OSIS yang mengisi kekosongan dengan menyumbangkan lagu.

Tak terasa perjalanan tiga jam itu sudah berakhir. Lana sampai tidak sadar jika dirinya ketiduran di pundak Rawi.

"Na, bangun," ucap Rawi menepuk wajah Lana pelan—takut melukai. "Kita udah sampai."

Merasa jika ada yang menyentuh wajahnya, Lana perlahan mengerjapkan matanya. Terkejut saat menyadari kepalanya yang berada di pundak Rawi.

"Eh, maaf, gue gak sadar," sesal Lana menggaruk lehernya merasa sedikit canggung. Padahal, ia sudah mewanti-wanti untuk tidak ketiduran.

"Gak masalah. Ayo, keluar," ajak Rawi mempersilakan Lana untuk jalan duluan. Terlihat tinggal mereka lagi yang belum beranjak dari sana.

Segera Lana berdiri dan mengambil tas ranselnya. Baru saja turun dari bus, kedua netranya melihat pemandangan yang begitu menyakitkan. Jika keadaan seperti ini, bolehkah ia sedikit cemburu?

Di ujung sana, dari tempat bus yang berbeda. Ibas menggendong Naya di punggungnya. Tampak gadis itu yang sedang memejamkan mata. Entah karena ketiduran atau yang lain, Lana tidak ingin tahu.

"Kenapa berhenti, Na?" Rawi menegur Lana yang menjadi penghalangnya untuk turun dari bus. Melihat tidak adanya reaksi, Rawi mengikuti arah pandang Lana. "Itu Ibas gendong Naya?" tanyanya meluncur begitu saja.

"Na, lo jang—

Tampaknya Ayi sudah telat. Lana melihat semuanya lebih dulu. Ia baru saja turun dari bus dan dikejutkan dengan pemandangan yang sangat menyakiti mata juga perasaan sahabatnya.

Kalau pun Naya mengkhianatinya, Ibas tidak akan terjerumus, kan?

^•^

"Lana, gue bisa jelasin." Naya terus berusaha mengejar Lana yang tidak ingin mendengar penjelasannya. Ia bahkan tidak mempedulikan lagi tugasnya sebagai wakil ketua OSIS untuk mengisi acara.

Sedang Lana seolah menulikan pendengarannya. Tujuannya saat ini adalah mencari ketenangan. Sialnya ia sengaja tidak membawa rokok, takut jika ketahuan dan menambah masalah baru.

Naya berdecak melihat sikap sahabatnya yang kekanak-kanakan. "Gue gak bermaksud apa-apa, Na. Gue lagi tidur, terus tiba-tiba aja Ibas gendong gue buat keluar dari bus. Lo tahu sendiri kalau gue tidur kayak orang mati, kan?"

Tidak ada cara lain, Naya menjelaskan semuanya sambil terus berusaha mengejar Lana. "Jangan salah paham dulu, dong, Na. Gue gak mungkin khianatin lo, kan? Lo gak mikir sampai situ kan, Na?"

Langkah kaki itu terhenti seketika. Lana hanya diam untuk beberapa saat. "Gue gak mau mikir buruk tentang lo maupun Ibas, Nay. Selagi gue masih percaya sama kalian, gunain itu sebaik mungkin sebelum gue benar-benar gak percaya lagi."

Naya tersenyum senang mendengarnya. Ia memeluk tubuh Lana dari belakang. "Gue tahu, lo gak mungkin mikir yang nggak-nggak tentang gue."

Tapi gue udah overthingking duluan, Nay.

"Lo janji untuk gak khianatin gue, kan, Nay?"

^•^

Surakarta, 19 Desember 2023

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang