Berulang kali Ayi meyakinkan dirinya untuk bisa sampai di depan pintu berwarna hitam ini. Tekadnya sudah bulat. Keyakinan dalam dirinya terus bertambah besar. Ayi harus bisa melewati semuanya.
"Atas nama Nona Ayi?"
Ayi menganggukkan kepalanya, lalu mengikuti langkah sang perawat yang memasuki ruangan.
Jujur, ini adalah kali pertamanya setelah tiga tahun tidak kembali. Ayi mengira jika dirinya sudah sembuh, tetapi tidak sama sekali.
"Halo, selamat datang," sapa sosok wanita cantik yang duduk di kursi kebesarannya. Ayi menautkan kedua tangannya gugup.
"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah menatap Ayi dengan senyuman yang begitu tulus.
Melihat pasiennya yang tidak ingin menjawab pun tak membuatnya putus asa. "Ada yang mengganggu akhir-akhir ini?" tanyanya lagi agar bisa membuka percakapan di antara mereka.
Ayi berdeham, ia menarik kursi cokelat itu dengan tangan bergetar.
"Tidak apa-apa, hanya ada kita berdua di sini. Kamu mau minum apa?"
Tidak, Ayi tidak butuh minum. Ia menarik napasnya panjang. Menatap yakin pada wanita cantik yang akan menjadi dokternya.
"Tiga tahun lalu saya pernah ke sini. Menjadi pasien rawat jalan," ucap Ayi menelan ludahnya dengan kasar. Rasa cemas dan khawatir itu kembali menyelimuti dirinya. Ia takut akan semua kata makian dari orang terdekatnya kembali terulang.
"Diagnosis?"
Sebelum menjawab, Ayi memalingkan wajahnya ke arah jendela. Ruangan ini ternyata berada di sisi kanan taman rumah sakit. Ayi bisa melihat para pasien yang sedang duduk ditemani perawat dan ada juga yang bersama keluarganya. Keluarga, ya? Ayi lupa kapan terakhir kali ia memiliki keluarga.
"OCD."
^•^
Sejak malam itu, Lana kembali bersemangat membeli perabotan untuk melengkapi isi cafe-nya. Belum lagi dengan biaya yang ditambah oleh Darma membuatnya bisa leluasa untuk membeli gelas lagi. Sayang, gelas dengan ukiran mawar waktu itu telah habis terjual. Lana sedikit sedih dibuatnya.
"Terima kasih, ya, Mas," ucap Lana pada karyawan tempatnya membeli barang, karena membantu membawanya ke dalam mobil.
Lana segera berputar arah ke tempat duduk pengemudi. Sepertinya mampir ke coffee shop untuk menikmati secangkir americano adalah pilihan yang tepat.
Baru saja ingin berbelok, netra Lana menatap Ayi yang baru saja keluar dari rumah sakit. Kebetulan, jarak dari tempatnya berbelanja tadi tidak jauh. Pikiran Lana langsung terbang ke mana-mana. Ada perlu apa Ayi ke rumah sakit seorang diri?
Tin tin tin.
Sengaja Lana membunyikan klakson mobilnya, lalu membuka kaca jendela. "Ayi! Mau ke mana?" tanyanya sedikit keras. Lana melihat jelas bagaimana raut wajah itu berubah menjadi terkejut. Ia juga bisa memahami Ayi yang tampak sedang sedih.
"Ah, Lana." Ayi berjalan mendekati mobil merah itu. "Gue mau pesan gojek buat pulang."
"Bareng gue aja, gue antar," tawar Lana yang terdengar seperti perintah di telinga Ayi.
"Buruan naik, Ay."
Ayi mengangguk menuruti ucapan Lana. Kenapa ia harus bertemu dengan Lana hari ini? Padahal Ayi masih ingin menyimpan semuanya sendiri. Jangan sampai Lana bertanya-tanya.
"Kita mampir ke cafe dulu, ya."
Keputusan sepihak itu semakin membuat Ayi gugup. Pasti ia akan diinterogasi oleh Lana. Ia paham betul bagaimana tabiat salah satu sahabatnya ini. Lana tidak akan berhenti sampai mengetahui semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me [END]
Teen FictionSiapa di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Baik Lana, Ibas, Naya, Rawi, juga dengan Ayi. Mereka sangat ingin dicintai hingga keegoisan menguasai segalanya. Lana mengira jika dirinya adalah peran utama dalam cerita ini, tetapi gilanya ia adalah p...