48: Pasien Terhormat Itu Rawi

127 4 0
                                    

Semua yang berada di ruangan menunggu dengan perasaan yang campur aduk. Di depan mereka, seorang dokter pria sedang membuka perban yang menutupi kedua mata Lana.

"Silakan buka matanya pelan-pelan, ya," titah dokternya menanti pasiennya yang baru saja selesai operasi.

Setelah benar-benar membuka kedua matanya, Lana bisa melihat sosok Bima, Jihan, Tari, juga Darma yang berada di sisi kanan tempat tidurnya. Tak tertinggal Jihan yang berada di samping dokter.

"Lala," panggil Bima memegang pundak sang anak. "Kamu bisa lihat wajah Papa, kan?"

Detik itu juga Lana mengangguk. Ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Melemparkan senyum tulus kepada mereka yang menunggunya hingga selesai operasi.

"Saya cek dulu, ya," ucap dokternya lalu mengarahkan senter kecil ke mata Lana. "Ikuti sorot lampunya, ya."

"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar."

Spontan mereka menghembuskan napas lega. Lana mereka kembali bisa melihat dunia.

"Saya permisi dulu, ya," pamit dokternya menatap keluarga Lana satu per satu. "Kalau perlu sesuatu, tekan tombol yang ada di atas nakas, ya."

"Baik, Dok."

Tari merentangkan tangannya ke hadapan Lana. Memeluk anaknya dengan erat. "Maafin semua kesalahan Mama selama ini, Na. Mama terlalu egois sama kamu."

Air mata yang ditahan Lana sejak tadi pun mengalir membasahi pipinya. Ia sudah terlalu banyak menerima luka dari orang terdekat. Hingga sampai di titik ini, bisa kembali hidup saja ia sudah sangat bersyukur. Apalagi jika keluarganya membaik.

"Ayah minta maaf juga, ya," sesal Darma ikut memeluk anaknya. "Anak Ayah kuat banget. Maaf karena Ayah belum sepenuhnya berhasil menjadi sosok Ayah terbaik buat kamu, Na."

Lana menggeleng cepat. "Ayah udah seberusaha mungkin untuk melakukan itu. Namanya juga manusia, gak ada yang sempurna. Termasuk, kalian semua."

Kedua mata Lana melirik ke arah Wina yang hanya diam tak berani mendekat. "Aku juga akan menerima Bunda Wina sebagai Ibu kedua. Boleh kan kalau aku panggil Bunda?"

Mengangguk cepat, Wina tersenyum senang mendengarnya. "Boleh, boleh banget, sayang," balasnya lalu menerima pelukan dari Lana.

Ceklek.

Pintu ruangan terbuka. Menampakkan sosok Ibas yang datang dengan penampilan berantakan.

"Maaf, boleh bicara sebentar dengan Lana?"

^•^

Jujur, Lana bosan setengah mati, ia menatap Ibas yang sejak tadi hanya diam dengan jengah.

"Kalau nggak ada yang mau diomongin, gue mau balik ke kamar, ngantuk."

Secepat kilat Ibas menahan pergerakan Lana yang ingin berdiri. Ia tiba-tiba saja bersujud di depan kaki Lana. Tentu hal itu membuat Lana terkejut bukan main, juga mengundang tatapan semua orang yang berada di taman.

"Kenapa, sih, Bas?" Lana berusaha menghindar. "Malu dilihat sama orang lain, Ibas."

"Gue minta maaf." Tiga kata itu berhasil meluncur dari mulut Ibas. Ia menatap mantan kekasihnya dengan penuh penyesalan. "Gue minta maaf atas semua yang menimpa lo, Na. Itu semua perbuatan gue."

"Siren yang menyebabkan lo kecelakaan, dia gak mau lo terus mengusik gue dengan meminta tanggung jawab," aku Ibas membuat Lana membulatkan matanya tak percaya. "Dia gak mau kalau gue bertanggung jawab untuk anak yang lo kandung."

"Sebenci itu?" Lana terkekeh masam. "Gue gak akan minta tanggung jawab lagi, kok. Anaknya udah dipanggil Tuhan duluan."

Ibas memejamkan matanya kala mendengar itu. Entah mengapa, hati kecilnya merasa teriris. Ada rasa penyesalan karena dirinya sempat tidak mengakui keberadaan anaknya.

"Sebenarnya, bukan mama gue yang menyebabkan keluarga kami hancur, tapi justru papa gue sendiri."

"Rawi saudara tiri gue, Na. Dia anak dari bokap gue."

Lagi, fakta itu kembali membunuh Lana. Jadi, semuanya terjadi hanya karena salah paham? Harusnya, ia tidak sehancur ini jika saja Ibas tidak menaruh dendam pada siapa pun.

"Dan sekarang, Rawi udah meninggal."

"Meninggal?" Lana menutup mulutnya tak percaya. Tidak menggeleng kuat. "Gak, pasti lo salah, kemarin dia masih jenguk gue, kok."

"Tapi dia masih tetap hidup di kehidupan orang lain, Na."

Perkataan Ibas barusan sangatlah ambigu. Membuat Lana harus memutar otak untuk memahaminya.

"Dia bahkan hidup di kehidupan lo sekarang, Lana," ungkap Ibas, tahu jika belum ada satu pun yang memberitahukannya kepada Lana. "Dia yang jadi pendonor mata buat lo. Dia juga yang jadi pasien terhormat kemarin."

"Kenapa terhormat? Karena dia mendonorkan semua organ tubuhnya untuk orang yang masih pengen berjuang buat hidup."

Kenyataan pahit apalagi ini? Jadi pendonor mata Lana adalah Rawi? Kenapa laki-laki itu memberi hukuman kepadanya dengan cara seperti ini? Sungguh, ia sudah memaafkan kesalahan Rawi dengan ikhlas. Sebab mau bagaimana pun juga, laki-laki itu selalu menemani setiap dukanya.

"Gue duluan," pamit Lana tidak kuat mendengar semua fakta yang menyakitkan untuknya. Ia berjalan gontai menuju ruangannya. Tatapannya pun berubah menjadi kosong.

Setelah Ayi, sekarang Lana kembali merasakan kehilangan seseorang. Rawi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ah, tidak, laki-laki itu menitipkan satu hal padanya. Dua mata indah yang kembali membuatnya bisa melihat dunia.

"Lana, kenapa kamu jalan sendirian?" Jihan berjalan cepat membantu sang adik untuk berjalan menuju brankar. Akan tetapi, tangannya ditepis kuat.

"Na?"

"Kenapa kalian gak bilang dulu kalau pendonor aku itu Rawi?" tanya Lana kepada semua keluarganya yang masih berkumpul di ruangannya. "Kenapa kalian pura-pura gak tahu?"

"Lala, sayang, dengerin Papa dulu," pinta Bima tak ingin membuat sang anak salah paham. "Itu semua permintaan terakhir Rawi. Dia gak mau kamu tahu dulu kalau dia yang donorin matanya, karena kalau tidak seperti itu, kamu pasti akan menolak."

"Iya!" Lana membalas dengan nada tinggi. "Aku gak akan pernah mau terima ini. Aku gak mau hidup di atas kesedihan orang lain. Bagaimana dengan keluarga Rawi yang ditinggalkan?"

"Mereka sudah mengikhlaskan semuanya, Lana," timpal Tari berusaha menenangkan sang bungsu. "Rawi sudah tenang di sana. Kalau kamu merasa bersalah, balas dengan hidup bahagia sesuai keinginan Rawi. Dia cuma ingin kamu bisa melihat indahnya dunia lagi."

Akan tetapi, semenjak kehilangan semuanya. Dunia tidak lagi indah bagi Lana. Baginya, dunia sekarang sangatlah redup.

"Kalau kamu seperti ini, kamu tidak berterima kasih atas pertolongan dia, atas pengorbanannya juga."

"Ikhlas, Lana."

Suara tangis Lana perlahan terdengar pilu. Gadis itu terduduk lesu di dinginnya lantai rumah sakit. Bukankah memang seperti ini hukum alam yang sebenarnya? Setiap yang datang pasti akan pergi. Pada akhirnya semua orang akan kembali kepada Sang Pencipta. Tidak akan ada yang abadi di dunia ini. Sekalipun itu hal yang kamu anggap mustahil.

Lana begitu banyak menerima luka kemarin. Hari esok dan seterusnya, ia harus bisa menciptakan kebahagiaan sendiri. Seperti yang dipinta Rawi sebelum akhirnya menutup mata.

Harusnya, Lana merasa beruntung karena menjadi cinta pertama dan terakhir bagi Rawi. Ia merasa spesial karena dicintai oleh laki-laki baik nan sempurna. Sayang, karena keegoisan Rawi yang begitu ingin dicintai balik membuatnya melakukan kesalahan fatal. Namun, jauh dari itu semua, Lana sangat tahu jika Rawi benar-benar orang baik. Buktinya, ia tetap hidup di kehidupan orang lain. Terutama, di kehidupan Lana.

Rawi mungkin tidak mendapatkan cinta Lana, tetapi ia berhasil abadi dalam tubuh gadis yang dicintainya.

Selamat beristirahat untuk selamanya, laki-laki terhormat.

^•^

Surakarta, 15 Januari 2024

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang