42: Naya Peran Utama?

36 3 0
                                    

Dua minggu berlalu begitu saja, Lana akhrinya bisa kembali masuk sekolah. Ia berjalan dengan langkah pelan, tak peduli dengan berbagai tatapan dari murid lain. Hari ini, ia menggunakan hoodie untuk menutupi janin yang ada di perutnya. Jika ditanya, Lana sebenarnya belum bisa menerima kehadiran sang anak, tetapi ia akan mencobanya sebisa mungkin.

"Gila, dia masih sekolah di sini?"

"Gue kira dikeluarin kemarin, eh taunya cuma di skors doang."

"Bu Andin gak bijak banget jadi kepala sekolah."

"Padahal nama baik Merah Putih udah kecoreng gara-gara video panas dia."

Untung saja Lana menggunakan airpods dan menyalakan musik dengan full volume. Meski begitu, samar-samar ia masih bisa mendengarnya.

"Na, lo udah masuk hari ini?" Tiba-tiba saja Rawi datang dan merangkul pundak Lana dengan santai. Tidak peduli dengan tatapan terkejut dari mereka yang menyaksikan. "Kok, gak bilang, kan bisa berangkat bareng gue tadi," sambungnya lagi yang belum direspon oleh Lana.

"Jangan dengerin omongan mereka, ya?" Rawi menarik tudung hoodie Lana untuk menutupi kepalanya. "Padahal kita cuma manusia biasa, tempatnya salah. Bedanya, aib mereka gak keumbar aja."

Entah mengapa, mendengar penuturan dari Rawi membuat perasaan Lana sedikit menjadi tenang. Berbeda dari biasanya yang sering merasa cemas.

"Tetap kuat, ya, Na," pinta Rawi sebelum akhirnya sampai di depan pintu kelas. Menepuk puncak kepala Lana dengan pelan. Senyum yang sering ia tampakkan sekarang sering ia lemparkan untuk Lana seorang.

"Lo gak jijik sama gue?" tanya Lana penasaran. Dari semua murid yang menjauhinya, ia sama sekali tidak ada masalah. Akan tetapi, kenapa hanya Rawi yang bertahan? Apa begitu besar rasa cinta laki-laki itu kepadanya?

Rawi tersenyum tipis. "Untuk apa? Karena video itu? Gue selalu memegang prinsip kalau semua manusia itu punya keburukannya masing-masing. Seperti yang gue bilang, bedanya aib lo udah kebongkar. Sedangkan gue dan yang lain, masih ditutup rapat aja sama yang di atas."

Spontan Lana tersenyum setelah sekian lama memasang ekspresi datar. "Beruntung banget yang jadi cewek lo nanti."

"Gue masih di sini, Na. Gue nungguin lo."

Lana mendongak, Rawi menatapnya begitu dalam hingga membuatnya sedikit gugup. "Jangan gue, Wi. Gue bukan cewek baik-baik. Lo pantas mendapatkan yang lebih. Bahkan kalau mau, lo bisa dapat berlian, jangan mau sama batu kerikil kayak gue."

Harusnya, gue yang ngomong gitu ke lo, Na.

^•^

"Di mana Ayi?"

Lana mendorong Naya dengan kuat hingga menabrak dinding. Ia kira Ayi datang terlambat, tetapi sahabatnya itu benar-benar tidak masuk sekolah. Bahkan, info dari Rawi, Ayi sudah lama tidak masuk. Tepatnya, sejak hari terakhir Ayi datang ke cafe waktu itu.

"Lo yang sebar berita tentang dia?!" Lana sangat murka sekarang. Bukan hanya informasi tentang Ayi yang sudah lama tidak masuk, tetapi juga berita heboh yang terjadi kala ia di skors. "Maksud lo apa, sih, Nay?!"

"Kok, lo nuduh gue sembarangan, Na?" tanya Naya yang jelas tidak terima dengan tuduhan itu. "Gue bahkan udah coba berulang kali buat hubungin dia, tapi nomornya gak aktif. Ke apartemennya juga gak ada orang, kode sandinya udah diganti sama dia."

"Terus gue percaya?!" Seakan tuduhannya tepat sasaran, Lana benar-benar tidak percaya dengan semua kata pengelakan dari Naya. "Yang tahu penyakit Ayi itu cuma gue sama lo!"

Naya terperangah mendengarnya. Menatap Lana tak percaya sekaligus kecewa. "Gue gak mungkin ngelakuin itu sama sahabat gue sendiri. Gue masih punya hati nura—

"Bukan hal yang gak mungkin," potong Lana tersenyum remeh. "Lo aja bisa rebut Ibas dari gue, kenapa bukan hal yang mustahil kalau lo yang sebar foto itu?"

"Ah!" Lana seakan teringat sesuatu. Tatapannya berubah menjadi tajam sekarang. "Atau lo yang sebar video gue?!"

"CUKUP!" teriak Naya menutup telinganya rapat. Untung saja mereka berada di gudang belakang sekolah. Tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka.

"Gue gak pernah rebut Ibas dari lo, justru lo yang rebut dia dari gue," bantah Naya tidak terima dengan semua tuduhan Lana. "Gue yang peran utama di sini, bukan lo. Sadar, Na. Lo itu cuma peran kedua di hidup Ibas, lo cuma diperalat buat ajang balas dendam dia. Lebih dari pada itu, lo bukan siapa-siapanya Ibas!"

Prok prok prok.

Lana bertepuk tangan, takjub dengan semua kata-kata yang keluar dari mulut Naya. "Wah, gue beneran hampir ketipu sama muka polos lo. Berapa lama, sih, Nay? Sehari atau dua hari? Udah lama banget kita dekat, bahkan gue udah anggap lo saudara."

Sebelum melanjutkan ucapannya, Lana tersenyum kecut, "ah, gue lupa kalau saudara aja bisa saling tusuk, apalagi sekadar sahabat, ya?"

"Kalau sampai terjadi sesuatu sama Ayi, gue gak akan pernah maafin lo!"

Plak.

Semua terjadi begitu cepat, juga dalam waktu yang sekejab. Lana terpaku di tempatnya berdiri. Menatap ujung sepatu Naya dengan kosong. Apakah ini akhir dari persahabatan mereka?

"Lo ngomong kayak gitu seakan-akan gue udah jahat banget, ya," ucap Naya pelan persis seperti orang berbisik. "Padahal, gue cuma ambil apa yang harusnya udah jadi milik gue sejak awal."

"Lo tahu gak, Na. Kalau aja lo gak ketemu lebih dulu sama Ibas, mungkin yang jadi pacar dia sekarang itu gue. Sayangnya, dia cuma jadiin lo peran kedua karena mau balas dendam."

Perlahan, Naya memegang kedua pundak Lana. Mencengkeramnya kuat hingga terdengar suara ringisan dari bibir sahabatnya.

"Berhubung balas dendamnya udah selesai, gak salah kalau gue rebut dia, dong?"

"Lo salah, Ibas akan tetap bergantung sama gue," telak Lana sukses membuat Naya menatapnya penasaran. "Lo gak penasaran siapa cowok yang ada di video itu?"

Seketika Naya mengatupkan kedua bibirnya rapat. Keadaan menjadi berbalik sekarang, Lana seakan menguasai pembicaraan mereka.

"Ibas," bisik Lana tersenyum senang setelah mengucapkan nama mantan kekasihnya. "Walaupun gue sama dia udah usai, bukan berarti semuanya selesai begitu mudah."

"Maksud lo?" Tangan Naya pun perlahan turun dari pundak Lana.

Lana berjalan mendekat, spontan Naya memundurkan langkahnya hingga punggungnya menabrak kursi yang ada di belakang.

"Argh!"

"Gue bisa aja berkoar kalau di dalam video itu gak cuma gue, tapi ada Ibas. Lo pikir gue mau melakukan hal itu. Gue gak serendah lo, Naya," sindir Lana tersenyum jahat. Jiwa tidak pedulinya kembali bangkit. Ia akan menuntas habis semua orang yang sudah merendahkan dirinya.

"Lo pikir aja, dari perbuatan itu, apa gak membuahkan hasil?" tanya Lana memegang perutnya dengan tangan kanan. Menunjukkan sesuatu kepada Naya bahwa dialah pemenangnya di sini.

"L-l-lo ha-m-il?"

Naya menutup mulutnya tak percaya. Bagaimana Lana bisa sesantai itu saat dirinya sudah hancur?

"Lo boleh bilang gue peran kedua, tapi sayangnya, di cerita ini, peran kedua pemenangnya," tegas Lana tersenyum penuh kemenangan. "Ibas gak semudah itu buat lepas dari gue. Ingat itu baik-baik, ada tanggung jawab yang harus dia lakukan."

"Gak, itu pasti bukan anak Ibas," bantah Naya tak percaya dengan pengakuan sahabatnya. "Lo pasti pernah ngelakuin sama cowok lain, kan? Gue tahu lo cewek yang kayak gimana, gak usah tuduh Ibas yang nggak-nggak."

"Terserah lo mau percaya atau nggak, itu bukan hal penting bagi gue."

^•^

Surakarta, 10 Januari 2024

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang