Hari ini Ibas berniat mengajak Lana untuk makan malam di rumahnya. Awalnya, Lana menolak karena hubungannya dengan adik Ibas yang tidak terjalin baik. Entah mengapa, adik Ibas sangat membenci dirinya. Padahal, pertemuan pertama mereka baik-baik saja waktu itu.
"Kamu yakin kalau makan malam kali ini bakalan berjalan lancar?" Lana tidak ingin semakin menghancurkan hubungannya dengan Siren. Sudah pasti jika adik kekasihnya itu akan mengomel.
Cup.
Ibas tak langsung menjawab. Ia mencium telapak tangan Lana penuh kasih sayang. Menatap kekasihnya lebih intens.
"Kamu cantik banget, sih," puji Ibas membuat kedua pipi Lana menjadi merah padam. "Siren harusnya bersyukur punya calon kakak ipar secantik kamu."
Spontan Lana memukul pundak Ibas. "Kamu gak usah gombal, deh. Ini aku lagi serius, gimana kalau Siren marah lagi? Aku gak mau kalian jadi berantem cuma karena aku, Bas."
"Cuma karena kamu?" Ibas mendekatkan wajahnya pada Lana. Meneliti wajah sang kekasih secara lebih dekat. Tangannya pun terangkat membelai pipi Lana dengan lembut. "Kamu bukan orang lain, Na. Siren udah harus belajar buat nerima kamu dari sekarang," sambungnya lalu mencubit pipi Lana gemas.
"Ibas!" Lana kembali memukul pundak Ibas lebih kuat dari sebelumnya. "Tapi aku gak mau kalian jadi ribut terus, Bas."
"Jadi, kamu gak mau aku ajak ke rumah?" tanya Ibas dengan nada seolah merasa sedih. "Padahal, aku udah minta bibi buat masak makanan kesukaan kamu."
Melihat raut Ibas yang tampak sedih membuat Lana merasa serba salah. Ia gundah sekarang, di sisi lain ia tidak ingin mengecewakan Ibas, tetapi di sisi lain lagi ia juga tidak ingin hubungan saudara mereka semakin merenggang hanya karena dirinya.
"Oke, aku mau," putus Lana membulatkan tekadnya untuk menerima ajakan Ibas. Semoga saja malam ini tidak ada keributan apapun.
Tentu saja Ibas berseru senang dan spontan mencium pipi kiri Lana. Perlakuan manis yang berlalu cepat itu membuat Lana tersipu malu. Satu tahun hubungan mereka tidak pernah Lana merasa biasa saja berada di sisi Ibas. Laki-laki yang memiliki lesung pipi itu selalu berhasil membuat jantungnya berdetak tak normal.
"Makasih, sayang. Aku mau kalian akrab kayak saudara perempuan pada umumnya. Dimulai dari hal yang kecil dulu, makan malam bersama, mungkin?"
Akrab layaknya saudara perempuan pada umumnya? Bolehkah Lana tertawa keras? Sedang hubungannya dengan Nada pun sangat jauh dari kata baik.
"Udah, yakin aja. Siren sebenarnya anak baik, kok."
Lana mengangguk yakin. Ia juga tahu jika Siren bukanlah Nada yang drama queen. Dia hanya tidak ingin kehilangan Ibas sebagai sosok abang dalam hidupnya. Akan ada masa di mana Siren menerima dirinya.
^•^
Baru saja berjalan dua langkah setelah melewati pintu utama, suara Siren langsung terdengar begitu jelas.
"Ngapain ke sini?"
Ibas yang mengerti situasi pun segera menggenggam tangan Lana. Menatap sang adik dengan senyuman yang begitu manis.
"Malam ini, biarin Kak Lana makan bareng kita, ya?" pintanya memohon agar sang adik bisa luluh. "Kan, jarang juga dia ke sini, Ser," sambung Ibas, lagi.
"Iya, kalian makan berdua aja," putus Siren berjalan malas menuju arah tangga. Padahal, perutnya sudah berbunyi sejak tadi dan sengaja menunggu Ibas pulang agar bisa makan bersama.
Ibas yang melihat sikap tidak sopan dari sang adik pun sedikit tersulut emosi. Namun, ia berusaha untuk menahannya. Tidak ingin membuat keributan.
"Siren, Bang Ibas maunya kita makan bertiga. Untuk malam ini aja, kamu terima Kak Lana, cuma makan, loh."
"Bas." Lana menegur. Sungguh, hatinya merasa sangat tidak enak dengan Siren. "Aku pulang aja, ya? Aku bisa, kok, makan di rumah."
"Sadar diri, ternyata," ketus Siren yang berada di tangga ketiga. Menatap Lana dengan penuh kebencian. Baginya, semenjak menjalin hubungan dengan Lana, Ibas mulai tidak peduli lagi. Saudara satu-satunya itu selalu memprioritaskan Lana dari apapun. Apapun.
"SIRENA!"
Baik Siren maupun Lana, keduanya terkejut mendengar teriakan menggema dari Ibas. Kan, Lana sudah menduga jika hal ini akan terjadi, lagi. Untuk kesekian kalinya. Sebab, ini bukan kali pertama Ibas mencoba untuk mendekati dirinya dengan Siren, tetapi semua berujung dengan keributan.
"Basupati!" Lana membentak tak terima. "Kamu gak boleh kasar gitu sama Siren, dia adik kamu!"
Sedang Siren yang baru saja dibentak pun terdiam membeku. Matanya memerah menahan tangis. Hidupnya benar-benar kesepian semenjak kehancuran keluarganya. Tidak ada yang bisa ia jadikan rumah selain Ibas. Siren tidak memiliki siapa pun kecuali Ibas! Dan sekarang? Salahkah jika Siren bersikap egois dan haus kasih sayang?
"Tapi dia udah keterlaluan, Na!"
Siren menatap kedua remaja yang beberapa tahun di atasnya bergantian. Benar-benar sudah berubah. Padahal, Ibas adalah dunianya. Saudaranya itu rela melakukan apapun untuk dirinya dulu, tetapi tidak berlaku lagi untuk sekarang.
"Gakpapa, bela aja terus Kak Lana," cicit Siren mengepalkan kedua tangannya. Tolong, ia masih berumur lima belas tahun. Ia masih sangat menginginkan kasih sayang. Namun semesta justru memberikannya kepada orang lain.
"Lain kali, kalau mau ajak dia ke sini tunggu aku gak ada di rumah aja," ucap Siren membelakangi Ibas dan Lana. Perlahan, bahunya bergetar. "Aku gak mau ribut sama Bang Ibas cuma karena orang asing."
Usai mengatakan itu, Siren segera melangkah menuju kamarnya. Secepat mungkin Ibas ingin menyusul, tetapi niatnya diurungkan oleh Lana.
"Jangan," cegah Lana menggelengkan kepalanya. "Aku yakin, dia lagi nangis. Habis ini, kamu minta maaf, ya?"
Ibas membuang nafas kasar. Ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Mengusap puncak kepala Lana penuh kelembutan. Ia tidak salah memilih ternyata. Walaupun Lana adalah perempuan yang liar, tetapi gadisnya sangat tahu bagaimana cara menghargai dan memahami orang lain.
"Aku gak salah pilih, Na," aku Ibas menarik gadisnya ke dalam dekapannya. Baginya, Lana adalah kehidupannya, tetapi Siren keluarganya. "Kamu orang baik. Aku yakin, kamu sama Siren pasti bakalan akur, tapi bukan sekarang aja waktunya."
Lana mengangguk dalam dekapan Ibas. Ia membalas pelukan kekasihnya lebih erat. Menghirup aroma mint yang membuatnya semakin jatuh cinta pada kekasihnya.
Benar. Mungkin bukan sekarang, tetapi suatu hari nanti.
"Jadi, kamu mau sabar kan?"
Aku udah terlalu banyak nahan sabar sejak dulu, Bas.
Tanpa ragu, Lana kembali menganggukkan kepalanya. Apapun, jika itu tentang Ibas, Lana akan berusaha semaksimal mungkin.
Cinta memang begitu membutakan, ya? Lana sudah merasakannya sekarang. Kurang beruntung apa Lana? Harusnya ia masih bisa bersyukur karena ada sosok Ibas yang mencintainya, juga kedua sahabatnya yang baik. Meski hidup Lana gagal dalam hal keluarga, ia memiliki mereka yang lebih dari cukup.
^•^
Surakarta, 05 Desember 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me [END]
Teen FictionSiapa di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Baik Lana, Ibas, Naya, Rawi, juga dengan Ayi. Mereka sangat ingin dicintai hingga keegoisan menguasai segalanya. Lana mengira jika dirinya adalah peran utama dalam cerita ini, tetapi gilanya ia adalah p...