25: Lan Cafe

27 3 1
                                    

Semua kembali seperti sediakala, tetapi Lana masih belum diperbolehkan sekolah oleh Darma. Ayah tirinya itu sangat overprotektif akhir-akhir ini.

Baru saja ingin turun sarapan, Lana dikejutkan dengan suara keributan di kamar sebelahnya—kamar Nada. Penasaran dengan apa yang terjadi, ia melangkah mendekat. Samar-samar ia mendengar suara Darma.

"Sejak kapan kamu minum obat ini?" Lana membuka pintu kamar Nada yang hanya terbuka sedikit. Ia melihat Nada yang masih menggunakan baju tidur, tumben sekali adiknya itu belum siap dengan seragam sekolah.

"Jawab, Nada!"

Lana tersentak di tempatnya berpijak. Untuk pertama kalinya ia melihat dan mendengar Darma yang marah besar. Seketika jantungnya berpacu lebih cepat. Kilas masa lalu mengerikan itu kembali datang.

"Sejak kapan kamu berani minum obat penenang ini?!"

Obat penenang? Ah, sepertinya Lana ingat kejadian di malam hari itu. Kejadian di mana Nada yang tampak sedang kesulitan dan menelan beberapa pil obat.

"NADA!"

"Ayah," panggil Lana dengan suara seperti berbisik. Tampak Darma yang terkejut melihat kehadirannya. Ia tersenyum sambil melirik Nada yang hanya diam dengan kepala menunduk.

"Lana, suara Ayah kebesaran, ya? Jadinya kamu kebangun. Mau sarapan?" tanyanya halus, berbanding terbalik kala berbicara dengan Nada tadi. Seketika hinggap rasa bersalah dalam diri Lana. Ia tak sengaja menangkap tatapan iri dari adik tirinya. "Kamu duluan aja sarapannya, nanti Ayah nyusul, kok," sambungnya mengode Lana agar pergi dari kamar Nada.

"Ada apa?" Lana tak mempedulikan ucapan Darma sebelumnya. Ia butuh kejelasan atas apa yang terjadi. "Ayah marah sama Nada?"

"Adik kamu pakai obat penenang dan obat tidur dalam dosis yang tinggi," ungkap Darma menunjukkan dua botol kecil yang berada di dalam genggamannya. "Ini gak bisa dibiarin, Kak. Nada sudah melewati batasnya."

"Nad, bisa lo jelasin?" Sungguh, meskipun Nada sangat menyebalkan dan berulang kali melakukan fitnah untuknya, ia tak rela melihat Darma yang merasa gagal sebagai sosok ayah. "Sejak kapan lo minum pil-pil itu?"

Nada mengepalkan tangannya. Perlahan mendongakkan kepala menatap Darma dan Lana bergantian. "Mau tahu sejak kapan? Sejak mama lo yang nuntut gue buat jauh lebih baik dari lo!"

"Gue kesakitan, cemas setiap waktu, gilanya bahkan sulit buat sekadar pejamin mata!"

"TAPI TIDAK DENGAN CARA YANG SALAH!"

Suara teriakan itu membuat Lana maupun Nada tersentak. Darma membuang kotak obat itu ke dalam tong sampah yang tersedia di kamar anaknya.

"Ada Ayah ajarin kamu untuk melakukan hal menyimpang? Ayah ngerasa gagal sebagai dua orang dalam satu waktu."

"... sebagai dokter, juga ayah."

Mendengar itu Nada mengangguk setuju. "Benar, Ayah udah gagal jadi sosok ayah untuk ak—

"Nada," tegur Lana menggelengkan kepalanya. "Jaga ucapan lo sama Ayah."

"Ayah gagal, karena apa? Karena Ayah gak sayang lagi sama aku! Ayah lebih peduli sama dia!" tunjuk Nada pada Lana. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Ayah selalu memprioritaskan dia dibanding aku, padahal apa? Dia hanya orang asing yang baru datang di kehidupan Ayah!"

"Nada, Ayah gak pernah ajarin kamu berbicara dengan nada tinggi seperti itu," larang Darma melepas kaca matanya. Menatap anaknya dengan penuh kecewa. "Maaf kalau selama ini kamu merasa Ayah tidak adil. Ayah berjanji untuk bersikap lebih adil dan peduli lagi sama kamu."

Love Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang