Part 14»Senyuman or Harapan?

15 1 0
                                    

Seperti biasa, pukul 03.30 dini hari keluarga kecil di suatu kampung itu sudah bangun, bersiap melaksanakan ibadah sahur di tanggal 27 Ramadhan. Tenggara kala itu baru saja selesai melakukan ritual paginya di kamar mandi dan sudah nampak segar. Dirinya menggelarkan sajadah di mushala kamarnya lalu mulai melaksanakan shalat tahajud. Setelah salam, Tenggara tak langsung melipat sajadah dan mukenanya, dia ber'doa dan membuka mushaf al-Qur'an yang menjadi favoritnya di bulan ini lalu mulai melanjutkan tadarusan miliknya.

Sekitar 15 menit, Tenggara rasa itu sudah cukup. Dirinya bangkit dan mulai melipat sajadah serta mukenanya. Ke luar kamar dan menuruni satu persatu undakan tangga di rumah sederhananya.
"Pagi mamah, ayah mana?", sapanya pada Mamah Senja yang sesuai dengan dugaannya nampak sudah berkutat di hadapan kompornya. Nampak di meja makan belum terlihat keberadaan sang ayah. Mamah Senja yang tengah fokus menyiapkan menu sahur menyempatkan untuk menjawab sapaan dan pertanyaan dari sang anak.

"Pagi juga sayang. Ayah masih di kamar paling.", jawab Mamah Senja sambil mengangkat semur telur sebagai menu sahur pagi ini ke atas mangkuk, diberi hiasan sedikit lalu disajikan di atas meja bersama menu yang lainnya.

"Tuh dia.", lanjut Mamah Senja saat dirinya melihat siluet suaminya yang baru saja ke luar dari kamar utama dan berjalan ke arahnya.
"Apa mah?", tanya Ayah Fajar sambil mendaratkan bokongnya ke atas kursi meja makan. "Ara nyariin.", jawab Mamah Senja sambil tangannya menyiukkan nasi ke atas piring anak dan suaminya. "Kenapa Ra?", tanya Ayah Fajar pada Tenggara sambil dirinya mulai mencicipi masakan sang istri yang selalu terasa enak.
"Nggak ada apa-apa, tumben aja belum ada di dapur.", jawab Tenggara sambil kepalanya tak berhenti geleng-geleng saking emaknya semur telur yang dibuat oleh sang mamah.

Keluarga kecil itu melaksanakan ibadah sahurnya dengan sesekali terdengar obrolan atau celetukan singkat salah satu dari mereka. Keluarga yang sangat irit, hanya ayah, ibu, dan anak, itu yang kebanyakan orang katakan tentang keluarga Tenggara.

______________________________________

Pukul 03.00, Utara nampak masih nyaman di atas tempat tidurnya tanpa terganggu barang sedikit pun oleh suara getaran alarm yang dirinya pasang sebelum tidur atau suara mengaji dari speaker di mesjid. Tugas kuliah yang lumayan banyak menjadikan Utara mengerjakannya semalaman, alhasil dirinya masih terjaga di jam segini.

Terdengar suara seseorang membuka pintu kamar Utara, tapi hal itu sama sekali tak mengusik Utara dari tidurnya. Ucen berdiri di samping ranjang Utara, menyibakkan selimut yang dipakai sang kakak untuk menutupi tubuhnya. Rupanya hal itu sedikit mengusik tidur Utara, terbukti dari reaksi mata Utara yang langsung terbuka. Utara menyipit, mengucek matanya yang masih terlihat kabur melihat sekeliling kamarnya. Kondisi kamar yang remang-remang dan hanya diterangi oleh lampu tidur membuat setiap sudut kamar Utara nampak tak terlalu jelas terlihat.

Utara menoleh ke arah samping. Tepat di dekat pintu kamarnya, dia melihat sesuatu. "Tuyul kah?", tanyanya pada dirinya sendiri sambil mengucek matanya takut salah melihat, terlihat ada yang berdiri putih di dekat pintu kamarnya. "Masa ada setan sih, kan bulan puasa.", Utara mengedikkan bahunya acuh, dirinya bukanlah seorang yang penakut terlebih sekarang adalah bulan Ramadhan di mana semua setan dirantai.

Utara meraba saklar lampu kamarnya dan seketika kamar pun terang. "Ngapain Cen di sini?", tanya Utara ketika melihat Ucen ada di kamarnya. Ternyata yang dia lihat tadi bukan tuyul atau setan jenis lainnya, tetapi Ucen---sang adik yang entah kenapa pagi-pagi sudah berdiri di dekat pintu kamarnya, pake baju putih lagi, mana gak ngomong, pantas saja kalau Utara menyangka Ucen setan tadi.

"Tumben ke kamar abang pagi-pagi buta gini.", ucap Utara ketika merasa Ucen masih tak bergeming di tempatnya berdiri. Utara berpikir, Ucen tak kerasukan kan? Atau tidur berjalan? Utara kembali mengedikkan bahunya acuh sambil kembali membereskan tempat tidurnya.
"Bangunin abang, lo tidur kek simulasi mati.", jawabnya dengan muka datar. Sudah dibilang kan, kalau di antara anak Ustadz Ramdan, Ucen lah yang memiliki sifat mengalahi dinginnya kutub Utara.
"Cepetan bersih-bersih, gue tunggu di bawah.", lanjut Ucen lalu membalikkan badan, ke luar dari kamar bernuansa hitam yang tak lain adalah kamar milik Utara si pecinta hitam.

Tenggara & UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang