○●○Veel Plezier○●○
Selona memandang ragu-ragu ke arah sebuah bangunan yang katanya akan dijual. Melihat bangunan itu cukup jauh dari jalan raya membuat Perempuan itu menoleh kepada Wenon di sebelahnya.
"Kau tidak menyukainya?"
Selona mengangguk pelan. Hal itu membuat Wenon tersenyum dan segera membawa Selona pergi dari sana. Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Wenon kembali sibuk pada ponselnya sembari melihat-lihat bangunan lain yang akan dijual oleh pemiliknya.
"Ada tiga toko kosong lagi, masih mau melihat-lihat?"
Selona mengangguk penuh kepastian. Namun melihat jam yang menunjukkan pukul dua belas siang membuatnya melirik ke arah Wenon dengan tidak enak.
"Sebaiknya kita mencari restoran terdekat. Kau pasti sudah lapar"
Wenon tersenyum sembari menggeleng. "Aku masih kenyang, Lona"
Selona tidak percaya dengan mudah. Mengingat mereka sudah berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk mencari toko yang tepat dengan menyusuri sekitar pusat Kota.
"Aku lapar, Wenon. Kita makan siang dulu, ya?"
Sebisa mungkin Wenon mencoba menahan rasa gemasnya. Terlalu berlama-lama di dekat Selona membuatnya selalu berdebar-debar. Dengan berdehem, lelaki itu lantas mengangguk dan menyempatkan untuk mengelusi lembut rambut bergelombang milik Selona.
"Baik, saya akan mencari restoran terdekat, Nona Lona" ucap Wenon dengan mengedipkan sebelah matanya. Hal itu membuat Selona tertawa pelan sembari gelang-geleng kepala. Ada-ada saja.
Melihat Wenon begitu fokus berkemudi di sebelahnya, membuat Selona mencuri-curi pandang ke arah lelaki itu.
Tampak dari samping, Wenon begitu tampan dengan rahang tegasnya. Sama halnya dengan Raymond, hanya saja kedua mata Wenon cukup lebar dengan bibirnya yang tipis. Juga hidung lelaki di sebelahnya lumayan tinggi dan sedikit lebih besar dibandingkan Raymond yang terlihat seperti perosotan. Dengan tinggi yang sesampai dan tubuh yang tegak, Wenon bisa terlihat seperti salah satu dari anggota kemiliteran.
"Aku tampan, bukan?"
Selona mengerjap lalu mengangguk. "Ya, kau tampan, Wenon"
Wenon meremas kemudinya lalu melirik ke arah lain. Kedua telinganya sontak telah memerah karena malu. Lelaki itu tidak menyangka bahwa Selona akan berterus terang seperti tadi. Bahkan detakan jantungnya terus berbunyi sehingga memenuhi dalam pikirannya.
"Lona" ucap Wenon dengan masih meremas erat kemudinya.
Selona melirik Wenon lalu menjawab, "Iya?"
Wenon berdehem dan mulai memberanikan diri untuk melirik pada Selona, walaupun hanya sebentar. "Kau membuatku berdebar"
○●○●○●
Raymond kembali dari kantor lebih awal dari biasanya. Anehnya hari ini dia tidak kemana-mana, melainkan langsung memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Mengingat tadi pagi saat supir memberitahukannya tentang Selona, dia cukup uring-uringan di kantor. Tidak biasanya dia seperti itu.
Se-profesionalnya seorang Raymond, lelaki itu tidak pernah terpikirkan untuk membawa masalahnya ke area pekerjaannya. Namun tadi dia seperti bukan dirinya.
Raymond melangkah memasuki rumahnya. Melihat beberapa Pelayan sibuk ke sana kemari, membuatnya menghentikan langkahnya. Lalu bertanya, "Selona sudah pulang?"
Pelayan wanita itu menunduk lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan. Nona Selona belum kembali "
Tanpa sadar Raymond mengeraskan rahangnya. Mata sipitnya menggelap dengan pandangan suram.
"Baiklah, kembali bekerja"
Raymond menaiki tangga dengan sangat kesal. Bahkan derap langkahnya begitu terdengar menggema di penjuru ruangan. Membuat beberapa Pelayan bergidik ngeri dan mulai berhati-hati agar tidak membuat masalah yang bisa semakin memperkeruh suasana hati Tuannya.
Hingga hampir pukul tujuh malam, Selona baru kembali dengan Wenon di belakangnya.
Perempuan itu berjalan masuk dengan tatapan kosong. Wenon yang sejak tadi berada di dekatnya pun tidak mengerti dengan keadaan Selona dan itu membuatnya cemas bukan main.
"Ayo kita ke rumah sakit, Lona. Kau sangat pucat"
Selona menggeleng. Bahkan seluruh tubuhnya dipenuhi keringat dingin tapi perempuan itu berusaha mengabaikannya.
"Aku—aku baik-baik saja. Pulang saja, Wenon. Terimakasih karena telah menemaniku tadi"
Di atas, Raymond memandangi kedua orang itu dengan sorot mata yang tajam. Mata sipitnya semakin menyipit kala melihat lelaki itu beberapa kali ingin menyentuh tangan Selona.
"Kau tidak baik-baik saja, Lona. Kau demam"
Selona menyentuh kepalanya yang berdenyut nyeri. "Pulanglah Wenon. Kumohon... aku hanya ingin sendiri saat ini"
Wenon tertegun selama beberapa detik, kemudian lelaki itu mengangguk mengerti. Satu tangannya lalu terangkat dan menyentuhkan punggung tangannya pada dahi Selona.
"Padahal kau demam tinggi, Lona. Tapi jika itu yang kau inginkan, aku akan pulang sekarang. Kalau ada apa-apa kau harus langsung menghubungiku, ya?"
Selona tidak meresponnya, perempuan itu memilih naik ke kamarnya karena penglihatannya kini secara perlahan-lahan memudar. Perempuan itu yakin sebentar lagi dia mungkin akan kehilangan kesadarannya.
Sebelum pergi, Wenon menyempatkan melirik Raymond di atas sana. Lelaki itu terlihat menyungginkan senyuman mengejek ke arahnya. Hal itu membuat Wenon mengepalkan kedua tangannya dengan erat, lalu berlalu pergi tanpa menoleh lagi.
Raymond kini memusatkan pandangannya pada Selona. Perempuan itu terlihat seperti mayat hidup. Karena teramat kesal, Raymond memilih mengabaikannya dan memutuskan untuk kembali masuk ke kamarnya.
Padahal saat di dapur tadi, mereka berdua sudah cukup akrab. Bahkan Selona tadi sudah banyak berbicara kepadanya. Hal itu memicu Raymond untuk tidak ingin memedulikan Selona lagi.
Ketika hendak akan memutar kenop pintunya, Raymond dikejutkan dengan suara gaduh yang berasal dari dalam kamar Selona. Dengan cepat, lelaki itu berlari ke sebelah.
Mata sipitnya melebar tatkala mendapati perempuan itu jatuh pingsan di dekat kaki ranjang. Sontak, Raymond mengangkat tubuh Selona dan menempatkannya dengan sangat hati-hati di atas ranjang.
Sembari melirik Selona, Raymond mulai menghubungi dokter keluarganya untuk secepatnya datang dan memeriksa keadaan Selona.
Empat puluh menit berlalu, dokter telah selesai memeriksa Selona. Namun dia tidak mengerti jelas dengan kondisi Selona selain demamnya. Menurut pengamatannya, Selona baik-baik saja. Hanya saja demamnya yang tiba-tiba meninggi tanpa sebab yang jelas.
"Apa Nona sebelumnya pernah mengalami hal serupa?"
Tanpa ragu Raymond lantas mengangguk. "Dia pernah mengalami demam sebelumnya dan kesulitan terbangun. Kata dokter yang lain, dia hanya tertidur pulas"
"Sejak kapan Nona telah mengalami kesulitan bangun?"
Raymond mengingat-ngingatnya, itu saat Selona baru kembali dari rumah sakit. "Mungkin sejak dua atau tiga minggu yang lalu"
Dokter lelaki itu mulai menuliskan sesuatu pada buku kecilnya, kemudian kembali bertanya. "Apa semasa tidurnya, Nona menunjukkan gejala yang tidak biasa?"
"Ya itu cukup aneh. Dia seperti ditahan oleh sesuatu dan terus meminta tolong untuk kembali bahkan mengatakan tubuhnya kesakitan"
"Saya tidak dapat menyimpulkan lebih dalam, tapi semua yang anda katakan seperti merujuk pada gejala PTSD. Sepertinya anda harus segera membawanya ke psikiater, jika lama ditangani itu mungkin akan berakibat buruk pada pasien"
○●○Veel Plezier○●○
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Selona [END]
FantasyKematian yang sungguh mengenaskan membuat jiwa Nomia menjadi tidak tenang dan hal itu membuatnya berakhir memasuki tubuh seorang perempuan yang telah mati akibat bunuh diri. Mungkin semesta memberinya kesempatan kedua untuk membuatnya menjalani kehi...