41. GRIEF

138 20 27
                                    

Ajul menatap dengan cemas ke dalam ruangan perjamuan tersebut, jujur saja perasaannya benar-benar tidak enak sebab perkataan OmenD sebelumnya.

Setiap babak selanjutnya dimulai, dirinya memperhatikan satu persatu peserta yang ada. Babak demi babak berlalu, pun begitu dengan jumlah peserta yang terus menerus berkurang.

Entah sudah babak ke berapa, yang jelas akhirnya Voiz gugur dan kembali bersama kumpulan Ragnarok. "Hanya tersisa Maji dan OmenD, semoga saja mereka berhasil."

Ajul menghela napas, semakin lama intensitas permainan akan semakin sulit dan menegangkan. Walaupun mereka berdua cukup merepotkan, tentu saja dirinya tidak mau jika harus sampai kehilangan mereka.

"Jangan khawatir, Jul. Mereka berdua pasti akan baik-baik saja," ujar Jerry mencoba menenangkan pemuda itu sebab melihat ekspresi cemas di wajahnya.

"Untuk apa aku mengkhawatirkan mereka? Aku tahu mereka akan baik-baik saja, Jerry."

Bohong, dirinya adalah pembohong yang buruk untuk hal ini. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya tadi adalah kebohongan, dirinya hanya sedang menenangkan diri sendiri.

Tidak perlu orang yang ahli dalam membaca ekspresi, bahkan semua orang yang melihat wajahnya pun akan segera tahu bahwa dirinya tengah mengkhawatirkan keduanya.

Satu persatu anggota Aliansi yang tersisa pun gugur, menyisakan Awan saja. Namun, itu bukan pertanda bahwa pertarungan akan segera berakhir. Walaupun hanya tersisa mereka bertiga, tidak ada satupun di antara mereka yang terlihat akan menyerah.

Hingga pada akhirnya, OmenD terlihat cukup lama terdiam di ruang perjamuan. Itu membuat dirinya bertanya-tanya, apakah OmenD akan segera menyerah?

Kemudian pemuda itu menatap dirinya sebelum akhirnya memakan hidangan yang ada, yang entah kenapa dirinya membenci tatapan itu.

"Apa yang OmenD lakukan tadi?" tanya Kaira yang juga ternyata memperhatikan pemuda itu, Ajul pun menggeleng. Dirinya juga tidak tahu, yang jelas perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak benar dengan tatapannya tadi.

"Kau tahu, Jul? Aku memang buta, namun aku dapat merasakan perasaan yang kau rasakan sekarang. Kau sedang merasa gelisah saat ini, benar?" tanya Voiz dengan nada yang hanya dapat didengar oleh pemuda itu.

Ajul pun tersenyum kecut sebelum mengangguk. "Ya, jujur saja ... aku memang merasa gelisah. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi, dan itu buruk."

"Kalau kau memang merasa khawatir atau gelisah, mengapa kau harus membohongi dirimu sendiri, Jul? Berbuat jujur kepada diri sendiri bukanlah hal yang mengerikan."

Ajul terdiam, apa yang dikatakan oleh Voiz memang benar. Ia selama ini memang sering membohongi dirinya sendiri, senantiasa berpura-pura bahwa semua akan baik-baik saja.

Dirinya hanya ingin terlihat kuat.

Pemuda itu memutuskan untuk kembali menatap ke arah ruang perjamuan, kali ini dia melangkah lebih dekat ke pembatas kaca. Babak baru sebentar lagi akan dimulai.

Tidak lama kemudian, ketiga peserta yang tersisa pun kembali ke ruang perjamuan. Kali ini, keduanya kembali melakukan kontak mata.

Ajul menggeleng pelan ke arah pemuda itu, namun dibalas olehnya dengan senyuman tipis yang seolah mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Masalahnya, keduanya tahu bahwa tidak ada yang baik-baik saja.

Saat pemuda itu memakan hidangannya, seperti biasa mereka akan berpindah. Namun yang ia tidak ketahui, itu adalah saat terakhir dirinya dapat melihat pemuda itu.

AZAZEL [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang