Susananya semakin rumit, kala ponselnya berdering menampilkan nama Gibran disana. Ia menatap ragu ponselnya yang masih berdering. Dengan ragu, akhirnya Langit mengangkat telepon dari Gibran.
"Bilang sama gue, kalau yang diberita itu gak bener?" tanya Gibran di seberang sana.
"Itu bener, maaf." jawab Langit.
"Kenapa harus minta maaf? Kan lo gak salah. Gue gak marah soal itu, malahan gue seneng karena akhirnya lo bisa kumpul lagi sama keluarga lo secara lengkap," ujar Gibran sedikit terkekeh.
"Makasih ran."
Setelah itu terdengar gumaman kecil dari sana. "Yaudah seneng-seneng sana sama keluarga lo, gue mau main lagi sama adek gue."
Sambungan telepon itu terputus, setelah Gibran berucapa. Langit menjauhkan ponselnya dari telinganya, ia melemparkan dirinya ke atas kasur. Tersenyum menatap langit-langit kamarnya.
Salah satu keinginannya terwujud. Dan mungkin keinginan yang lainnya akan segera menyusul, Langit berharap begitu. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka menampilkan Nadine di celah pintu itu.
Langit bangkit dari tidurnya dan mengambil posisi duduk. Ia menatap Nadine binar, saat sang ibu mendekatinya dengan senyuman.
"Gimana? Udah tercapaikan sekarang?" tanya Nadine duduk di sisi Langit.
Langit mengangguk. "Makasih mah, mungkin kalau bukan karena mamah keinginan aku gabakal ke wujud."
"Udah hak kamu dapetin ini. Maafin mamah karena sempet nyembunyiin ini." sesal Nadine mengingat perbuatannya yang berusaha menjauhkan Langit dan juga Arga.
Langit menggeleng lalu beralih memeluk Nadine erat. "Mamah gak salah, semuanya udah di atur. Dari mulai aku lahir sampai sekarang semuanya udah di atur. Jadi bukan salah mamah, aku gak suka liat mamah nyalain diri muku karena hal itu. Apa pun kesalahan mamah, seberap pun kesalahan mamah aku bakal maafin. Asal mamah selalu ada di samping aku."
Suasana di kamar itu kini berubah menjadi haru. Langit memeluk erat Nadine, begitupun dengan Nadine yang memeluk Langit sembari mengusap punggung Langit.
~•0•~
Hari ini adalah hari pertama bagi Langit setelah pengumuman berita itu. Banyak anak-anak sekolah yang menatapnya, tak jarang teman seangkatannya terus bertanya mengenai dirinya.
"Wihh, ternyata ketua kelas kita anak orang kaya yah," kata adnan teman sekelas Langit yang duduknya bersebelahan dengan Fajar.
"Jangan kayak gitu, entar Langitnya gak nyaman." saran Fajar dibalas acungan jempol oleh Langit.
"Lusa lo jadi ikut tanding?" tanya Fajar mengingat pertandingan mereka akan di adakan sebentar lagi.
Langit mengangguk. Tidak mungkin jika ia tidak ikut pertandingan itu. Sedangkan, pertandingan itu adalah pertandingan yang sangat ditunggu-tunggu oleh Langit dan timnya.
Tak lama dari situ. Seirang guru masuk, membuat para murid segera duduk di kursinya masing-masing. Pembelajaram itu dimuali setelah mereka berdoa.
Langit memperhatikan setiap materi yang diterangkam oleh bu astrid. Guru kimia. Sampai bunyi bel pertama selesai, menandakan pemaparan materi selesai yang dilanjut dengan tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...