Mata itu perlahan terbuka, menemukan dirinya sudah berada di atas kasur. Netranya bergulir, menatap sekitarnya yang tak menemukan siapun.
Sampai beberapa detik kemudian, ia tersadar jika ada sebuah selang menancap pada lengannya.
Tangannya bergerak meraba kepalanya, tak ada yang benjol disana. Hendak bangkit untuk melihatnya lewat cermin, namun hal itu terhenti saat pintu kamarnya terbuka secara tiba-tiba.
Menampilkan Nadine yang langsung berlari memeluk Langit. Dapat Langit rasakan kehangatan yang disalurkan oleh Nadine lewat pelukan itu.
"Mamah bener-bener khawatir sama kamu." ucap Nadine dengan tersedu.
Langit hanya tersenyum, menggenggam lengan Nadine. "Gak usah khawatir, Mamah tau kan kalau anak Mamah yang satu ini kuat." ujar Langit kepada Nadine.
Beberapa menit berlalu, Alaska datang dengan terburu-buru. "Lo udah sadar? Gue khawatir banget sama lo karena 4 jam lo gak sadar dari pingsan lo. Akhirnya gue telepon dokter Rizal buat cek kondisi lo, beliau bilang kayaknya lo harus lakuin CT scan buat liat kepala lo." Langit mengangguk paham mendengar penjelasan dari Alaska.
"Iya nanti gue ke rumah sakit buat CT scan."
"Kok nanti, besok dong." ujar Alaska.
"Besok gue ada ujian, gak bisa ditunda. Pulang ngampus gue langsung ke RS." Alaska menghela napasnya pasrah, susah jika sudah berdebat dengan Langit.
Langit melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia berpikir jika masih ada waktu untuk belajar. "Yaudah kalo gak ada apa-apa lagi mamah sama abang mening istirahat, ini udah jam 11. Besok Mamah harus nemenin Papah dan Abang harus ke kantor kan? Aku juga mau lanjutun belajar." ucap Langit membuat Nadine dan Alaska yang mendengar itu tentu terkejut.
"Lo abis jatoh dari tangga, muka bonyok kayak gitu masih mau belajar!" kata Alaska tak paham dengan jalan pikiran Langit.
"Iya, jangan khawatir. Gue cuman jatoh aja, urusan bonyok masih bisa ditangani. Yang terpenting sekarang kalian istirahat aja okey!" ucap Langit berusaha meyakinkan Nadine dan Alaska.
Nadine akhirnya mengangguk pasrah, menarik Alaska pergi keluar dari kamar Langit. Setelah kepergian Nadine dan Alaska, cepat-cepat Langit menutup pintu kamarnya dan segera menuju toilet.
Sesampainnya disana, Langit langsung melihat area kepalanya yang tadi sempat terbentur melalui cermin yang ada disana. Langit menghela napasnya panjang, menatap pantulan dirinya sejanak kemudian kembali ke mejanya untuk melanjutkan belajarnya.
~•0•~
Arga termenung ditempatnya, duduk dengan kepala yang masih memutar kembali kejadian beberapa waktu lalu. Sampai akhirnya, ia melihat Alaska dam Nadine yang turun dari tangga.
Cepat-cepat Arga bangkit dari duduknya dan segera menghampiri keduanya. "Langit, Langit gimana?" tanya Arga.
Alaska menghela nafasnya. "Dia baik-baik aja, Papah tenang aja." jawab Alaska.
"Lain kali, jangan mabuk lagi. Kalau lagi ada masalah jangan lampiasin ke orang lain, apalagi anak sendiri." Setelah mengatakan itu Alaska pergi darisana meninggalkan Nadine dan Arga.
Arga menatap kepergian Alaska, kemudian menatap Nadine dengan sendu. "Maafin saya. Saya emang bodoh, saya lampiasin emosi saya ke Langit, maafin saya. Saya bener-bener minta maaf." ucap Arga dengan kepala yang menunduk.
Nadine menghela nafasnya. "Jangan minta maaf sama aku, minta maafnya sama Langit." ucap Nadine menggenggam lengan Arga.
"Saya takut Langit gabakal nerima saya lagi, terlalu banyak kesalahan yang saya perbuat." ujar Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...