Langit menyudahi semua kelasnya hingga pukul 4 sore. Ia duduk di parkiran menunggu Gibran yang sedang menuju kemari.
Saat sedang menunggu, Langit kembali melihat orang yang ia lihat tadi pagi di depan kelasnya. Karena kesal terus di buntuti, akhirnya ia hendak menghampiri orang itu.
Tapi sebuah cekalan membuatnya terhenti dan melihat siapa orang yang berani menariknya seperti itu.
"Mau kemana? Cepet, gue mau balik." Gibran menarik Langit menuju motornya.
Ia menggaruk sisi telinganya, membuatnya pasrah di tarik oleh Gibram. Langit sempat melihat kembali ke arah orang tadi berdiri, tapi ia sudah tidak ada.
"Lepasin ran ah lo mah, lo laki anjir. Pegang-pegang tangan gue mulu." dengus Langit melepaskan cengkraman Gibran.
"Gue cuman ngelakuin apa yang di bilang sama Om Arga. Udah cepet, gue mau pulang." ucap Gibran kembali mengingat ucapan Arga.
Langit mendelik tak suka. Ia tak bisa melontarkan kata-kata aneh, yang ada kalau Langit mengeluarkan kata-kata itu ia di tinggal sendiri di kota yang sebelumnya belum pernah kunjungi.
"Gini amat dah punya temen kayak si Gibran."
~•0•~
Makan malam kali ini di suguhkan dengan makanan favorit Langit. Apalagi kalau bukan Nasi Goreng.
Arga yang melihat Langit lahap memakan Nasi Goreng itu membuatnya angkat suara. "Jangan buru-buru, nanti keselek." Peringat Arga yang sepertinya tak di dengar oleh Langit.
Baru beberapa detil yang lalu Arga berbicara. Benar saja, Langit tersedak membuatnya terbatuk dan segera meminum air putih.
"Di bilang juga apa, kalau makan tuh pelan-pelan. Keselekkan." ujar Nadine di balas cengiran lebar oleh Langit.
Arga menggelengkan kepalanya. "Gimana kuliah kamu, lancar?" tanya Arga.
Langit menganggukkan kepalanya, sembari memasukkan suapannya ke dalam mulutnya. "Lancar pah, lumayan lah." jawab Langit.
"Syukur kalo gitu, semangat yah!" Langit tersenyum sembari mengangguk dengan semangat.
Makan malam itu kembali di lanjutkan. Sampai beberap saat kemudian, Langit selesai lebih dulu dan bangkit dari duduknya.
"Aku selesai, mau ke kamar dulu ngerjain tugas." ucap Langit sembari berlalu dari sana.
Alaska memandang kepergian sang adik, lalu menatap kedua orang tuanya. "Langit akhir-akhir ini sibuk banget kayaknya, gapapa emang pah?" tanya Alaska khawatir.
Arga menggeleng, meminum air hingga setengah dan mengeluarkan suaranya. "Enggak, gak bakal berefek banyak buat dia." jawab Arga.
Nadine menoleh ke arah Arga. "Bener enggak pa-pa? Gak jarang lo dia ngeluh sakit?" Arga tersenyum saat Nadine bertanya.
"Enggak sayang, tenang aja kok."
Alaska memasang wajah masam saat Arga berucap seperti itu. "Permisi, di sini masih ada orang yah." cetus Alaska karena merasa terabaikan.
"Ohh orang, kirain angin." Ledek Arga pada si sulung.
"Gini amat punya bokap hobi bucin." Alaska berlalu dari sana, meninggalkan Arga yang tertawa merasa menang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Подростковая литератураSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...