Bab 32 Pengkhianat

46 5 0
                                    

Mobil itu berhenti di sebuah gerbang besar. Jendela ia buka sedikit sehingga memperlihatkan wajah dari pengemudi itu.

"Langitnya ada?" tanya Gibran pada penjaga itu.

"Enggak ada den, lagi keluar." jawabnya.

Gibran menghela nafasnya beralih menatap Fajar. "Gimana? Mau balik aja atau gimana?" tanya Gibran.

"Pulang aja, gue mau bobo cantik." ujar Fajar.

Mendengar itu, Gibran mengangguk lalu menutup jendela kaca mobilnya dan meninggalkan area rumah Langit. Di perjalanan, sesekali Gibran mengalihkan pandangannya pada Fajar yang duduk di sisinya.

"Lo mau tetep langsung pulang aja? Atau mau mampir dulu ke rumah gue?" tanya Gibran berhenti di pertigaan antara rumahnya dan juga rumah Fajar.

"Pulang aja." jawab Fajar diangguki langsung oleh Gibran.

Mobil itu kembali di jalankan menuju rumah Fajar. Sampai akhirnya, mereka sampai di sebuah perumahan tempat Fajar tinggal di sana.

"Thanks ran, mau mampir dulu?" Gibran menggeleng, membiarkan Fajar keluar dari mobilnya. Setelah itu mobil itu melaju meninggalkan Fajar.

Sepeninggalan Gibran, Fajar memasuki rumahnya dengan sempoyongan karena hari ini menurutnya benar-benar lelah. Ia menatap seisi rumahnya yang sepi, seperti tak ada tanda kehidupan.

Ia berjalan menuju sofa. Mendudukkan dirinya ke atas sofa, sembari menatap keheningan yang terjadi di ruangan itu. Matanya menatap sebuah bingkai foto yang cukup besar terpampang di depannya.

"Coba aja dulu papah gak temenan sama dia. Pasti kita semua masih sama-sama." ujar Fajar dalam keheningan itu.

Ia menunduk, meremas jarinya. Kembali mengingat kejadian yang lalu, yang tak pernah ia lupakan sama sekali olehnya. Momen yang paling menyakitkan, dimana menyaksikkan keluarganya terbunuh dengan sadis di depan matanya hanya karena keserakahan satu orang yang membuat banyak orang menanggung akibatnya.

Tak pernah terbayangkan olehnya, jika orang dekat saja bisa jadi musuh yang menerkam mangsanya bagaikan Harimau. Musuh yang benar-benar bersembunyi di balik selimut, membuatnya lengah jika orang baik bisa saja menjadi jahat sewaktu-waktu.

~•0•~

Sudah 3 jam Fahri mengitari Mall besar itu dengan cemas. Nafasnya terengah, matanya bergerak mencari keberadaan Langit yang masih tak kunjung di temukan.

Ia kembali berlari mengitari area Mall itu. Sampai akhirnya, Fahri memutuskan untuk pergi ke area rooftop. Saat membuka pintu rooftop alangkah leganya ia menemukan Langit yang tengah berdiri di belakang pembatas gedung itu.

"Saya cari-cari kamu kemana-mana, ternyata disini." tutur Fahri tak di pedulikan oleh Langit yang tampaknya sedang asik menatap gedung-gedung itu.

"Mana es krimnya om?" tanya Langit dingin.

Fahri memelotot tak percaya, bahkan disaat seperti ini saja Langit masih menanyakan es krimnya yang mungkin lebih berharga dibanding keselamatannya jika Arga tahu Langit sempat hilang. "Jatoh tadi, lagian aden gak ada di tempat tadi om ninggalin kamu."

Langit kembali terdiam saat mendengar jawaban dari Fahri. Hal itu membuatnya kembali teringat dengan sosok yang membawanya kesini, orang yang sangat ia kenali bahkan sudah ia anggap menjadi saudaranya sendiri ternyata bisa seperti ini.

"Om, semisal kalau ada temen om yang berkhianat om bakal ngapain?" tanya Langit masih fokus ke arah depan.

Fahri melirik sejenak Langit yang berdiri di sampingnya. "Ya tinggalin aja, mau seberapa kuat kita coba mertahanin pun gak ada gunanya kalau salah satu pihak berkhianat. Meskipun banyak memori yang terukir di dalamnya pun bakalan tetep sia-sia." ucap Fahri ikut memandang ke arah depan.

Bumantara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang