Pagi itu Langit sudah di sambut dengan kepala yang tiba-tiba saja berdenyut. Alhasil, Langit tak melakukan apapun selain terus berbaring di kasurnya.
Suara ketukan pintu itu terdengar. Alaska muncul di celah pintu, menampalan dirinya yang sudah rapih. "Sarapan." ucap Alaska.
"Duluan aja bang, gue masih ngantuk." ujar Langit beralasan.
"Mamah yang suruh."
Langit menghela nafasnya panjang. Ia tak bisa mengelak jika Nadine yang menyuruhnya, karena sebesar apapun Langit beralasan Nadine tetap akan memaksa. Langit menyingkap selimutnya. Baru saja menurunkan kakinya, pandangannya memburam.
Alaska yang saat itu masih berada di kamar Langit melihat jika Langit terdiam sembari memegangi kepalanya. "Lo gak pa-pa?" tanya Alaska.
Langit mendongak tersadar jika Alaska masih berada di tempatnya. "Enggak, duluan aja bang. Gue mau ke air dulu." Alaska mengangguk saja, meskipun ada rasa khawatir saat tadi melihat Langit yang memegangi kepalanya.
Sepeninggalan Alaska, sesuai perkatannya. Langit berjalan lunglai menuju kamar mandi. Menatap pantulan dirinya yang pucat. Ia membuka laci yang ada di sana, meraih sebuah botol kecil yang berisikan sebuah obat kemudian memakannya tanpa bantuan air.
Perlahan, sakit kepalanya mulai mereda. Ia kembali menatap dirinya yang sudah tidak terlalu pucat dan beralih mencuci mukanya. Setelah semuanya selesai, ia keluar dari kamarnya hendak menuju ruang makan.
Langit menghela nafasnya terlebih dahulu. Lalu turun dari tangga itu menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, ia hanya melihat Nadine dan juga Alaska yang sedang melakukan sarapan.
"Papah mana?" tanya Langi duduk di kursinya.
"Udah berangkat, ada pertemuan dadakan jadinya berangkat lebih pagi." Jelas Alaska membuat Langit mengangguk paham.
Keheningan itu melanda sarapan itu. Hanya ada suara sendok dan garpu yanh saling beradu. Sampai beberapa saat kemudian, sebuah gelas jatuh membuat semua pandangan jatuh padanya.
"Kamu gak pa-pa?" Langit menggeleng saat Nadine bertanya padanya.
"Aku ke kamar dulu." Langit segera berlalu darisana meninggalkan tatapan bingun dari Nadine dan Alaska.
"Tumben makannya cuman dikit. Kamu tadi pas manggil Langit dia lagi gak ngapa-ngapain?" tanya Nadine.
"Enggak, dia lagi duduk aja di ranjangnya." Jelas Alaska.
Nadine hanya diam mendengar penjelasan dari Alaska dan berusaha tidak berpikir yang tidak-tidak terhadap Langit.
~•0•~
Langit menutup pintu kamarnya rapat. Berjalan sempoyongan menuju kasurnya, kemudian duduk di sisi ranjang. Tangannya bergerak membuka laci yang ada di dekatnya, meraih sebuah tabung obat dan meminumnya tanpa di bantu oleh air.
Ia mengusap wajahnya kasar, memjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Memandang langit-langit kamarnya, sembari merasakan obat yang di minumnya tadi mulai berefek pada tubuhnya.
Keheningan itu melanda ruangan itu. Sampai beberapa detik kemudian, ponselnya berdenting menandakkan sebuah pesan masuk. Tangannya terulur meraih ponselnya yang sedikit jauh darinya.
X
Bawa kesini
Gue udah nemuin apa yang lo mauOtw
Langit bangkit dari tidurnya setelah membalas pesan itu. Meraih jaketnya yang tersampir di atas sofa. Keluar dari kamarnya dengan terburu-buru, membuat Alaska dan Nadine yang sedang berada di ruang keluarga menoleh ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...