Bab 46 End

64 5 0
                                    

Suara tembakan itu melengking ditelinga. Sesaat setelah itu, tubuh itu ambruk dengan darah yang keluar dari punggungnya. Nadine berteriak histeris saat tahu jika Langit menjadikan dirinya sebagai tameng untuk Nadine.

Fajar terdiam, menatap lengannya yang tiba-tiba saja bergetar. Sampai beberapa saat kemudian, pintu itu di dobrak oleh seseorang. Rendra dan Gibran masuk diikuti oleh teman lainnya.

Alaska terus mencoba melepaskan dirinya dari ikatan tersebut. Rendra yang tersadar lebih dulu, segera membantu Alaska untuk melepaskan ikatan itu. Sedangkan, Nadine dan Arga dibantu oleh Gibran.

Setelah berhasil melepaskan ikatan itu, cepat-cepat Alaska membuka bajunya dan memakainya untuk menahan darah yang keluar dari punggung Langit.

"Liat gue ngit! Liat gue!" seru Alaska menepuk-nepuk pipi Langit, berusaha menyadarkan lamunan sang adik.

Nadine segera meraih Langit ke dalam pelukannya. "Liat Mamah sayang, liat Mamah. Hey." isak Nadine.

Pandangannya mulai memburam, ia melirik Nadine yang berada di dekatnya. Merasakan nyeri yang teramat luar biasa di area punggungnya.

"Mah ... maaf ... ini terlalu sakit. Aku gak kuat." lirih Langit dalam dekapan itu.

Nadine menggeleng keras. Alaska terus berusaha menekan punggung Langit agar dapat menghentikan pendarahan itu.

"Cepet panggil ambulan! Anak saya sekarat!" teriak Arga pada orang-orang disekitarnya.

Langit memejamkan matanya erat, kembali membuka matanya dan beralih menatap Alaska. "Bang ... tolong jagain Mamah sama Papah." ucap Langit dengan serak.

"Pah ... jangan lupa ... soal permintaan aku." ucapnya lagi.

"Lo bakal selamet okey! Gue pastiin, lo bakal selamet. Lo sayang kan sama gue, lo sayang kan sama Papah sama Mamah. Oleh karena itu lo harus bertahan. Bentar lagi ambulannya sampe." ujar Alaska.

Langit hanya membalasnya dengan anggukan lemah. Ini terlalu sakit, bahkan hanya untuk meraup oksigen saja rasanya seperti di tusuk oleh pedang besi. Sesak dan sakit sekali.

Beberapa saat kemudian, beberapa anggota medis datang dengan sebuah brangkar. Alaska dengan cepat meraih Langit yang semula berada di gendongan Nadine ke atas brangkar tersebut.

"Hubungi pihak Trauma Center. Ada seorang remaja berumur sekitar 19 Tahun mengalami luka tembak di bahunya dan harus segera melakukan operasi!" seru salah satu petugas medis.

Brangkar tersebut di dorong masuk menuju ambulan. Nadine yang masuk terlebih dahulu, sedangkan Alaska dan Arga menyusul menggunakan mobil Gibran.

Diperjalanan menuju rumah sakit. Nadine terus menggenggam lengan Langit yang mulai mendingin. Bahkan napas Langit sudah tak beraturan. Salah satu petugas medis sedikit memiringkan posisi Langit, matanya melebar saat melibat luka tembak yang di dapat oleh Langit.

"Lebih cepat lagi! Luka tembak bukan di bahu!" serunya pada temannya yang bertugas mengemudi.

Nadine menangis, mengeratkan genggamannya. "Anak Mamah harus kuat, Langit kan jagoan." ucap Nadine menggenggam lengan Langit.

Langit mengangguk lemah. Sampai pada saatnya, kondisi Langit semakin menurun. Salah satu petugas medis segera memasangkan masker oksigen untuk Langit.

"Lebih cepat lagi!" seru petugas medis itu.

Langit membuka matanya, meskipun pandangannya kabur. Ia hanya ingin melihat Nadine sekali saja, sebelum kegelapan kembali merenggutnya. Tangannya meraih lengan Nadine dan menggenggamnya erat.

"Jangan nangis, aku ... gak suka liat Mamah nangis." lirih Langit dibalik masker oksigen itu.

Nadine menggeleng, menyeka air matanya. "Mamah gak bakal nangis, asal kamu kuat yah. Asal kamu bisa lewatin ini semua." Langit mengangguk lemah, semakin mengeratkan genggamannya pada Nadine.

Bumantara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang