Kicauan burung itu membuatnya tersadar, ia menatap sekitar. Tak ada tanda kehidupan manusia disana, hanya ada pepohonan dan ilalang yang menjulang tinggi.
Ia bangkit dari duduknya, mulai menelusuri tempat itu. Sampai seseorang berhasil memanggil namanya membuatnya menoleh.
"Mamah."
Nadine menoleh saat merasa namanya terpanggil. Disana Langit tersenyum padanya, terlihat jika Langit mulai berjalan ke arahnya.
"Kamu ngapain disini?" tanya Nadine saat melihat Langit sudah mulai mendekatinya.
Langit tersenyum dan langsung memeluk Nadine erat. "Ini tempat aku sekarang." ucap Langit dalam dekapan Nadine.
Nadine yang tak paham langsung mencoba melepaskan dekapan Langit. "Maksud kamu?" tanya Nadine tak paham dengan ucapan Langit.
Langit kembali tersenyum. "Aku titip abang sama papah yah mah, maaf karena aku belum bisa buat mamah bahagia, maaf karena belum bisa jadi anak yang baik, maaf karena sering buat mamah nangis. Maaf itu yang bisa aku katakan sekarang." lirih Langit kembali memeluk sang ibu.
Nadine yang masih belum paham hanya pasrah saat Langit memeluknya. Sampai beberapa saat kemudian, Langit melepaskan pelukan itu dengan tersenyum.
"Aku pergi dulu yah mah, mamah jaga diri baik-baik kalo aku udah gak ada."
"Kamu mau pergi kemana?" tanya Nadine dengan mata yang berkaca-kaca.
Langit tersenyum. "Di dunia ini ga ada yang abadi, semuanya udah ada takdirnya masing-masing termasuk aku, mamah, papah dan juga abang dan semua orang yang ada di dunia ini punya takdirnya masing-masing." kata Langit mengusap air mata Nadine yang mulai mengalir.
"Aku pergi dulu yah, mamah jaga kesehatan. Aku sayang sama mamah." setelah mengatakan itu Langit pergi dari sana mengabaikan teriakan Nadine yang memanggilnya.
"Langit!"
Tubuhnya terlonjak saat itu juga. Ia melihat sekitar, lorong rumah sakit. Ia mengusap kepalanya yang dilanda pusing karena bangun secara tiba-tiba.
"Mamah gapapa?" Nadine melirik ke arah asal suara itu.
Alaska disana menatapnya dengan khawatir saat Nadine terbangun secara tiba-tiba. Nadine menatap lekat Alaska, sebelum akhirnya pergi dari sana menuju ke sebuah ruangan dimana Langit berada.
Nadine masuk dengan tergesa-gesa bahkan tidak sempat untuk memakai baju pelindung. Nadine menatap Langit yang sampai saat ini belum bangun juga dari ketidak sadarannya. Ia mengusap kepala Langit yang masih dibaluti perban, beralih mencium kening sang anak.
Sungguh rasanya mimpi itu seperti nyata, dimana Langit memeluknya sembari meminta maaf. Entah itu tanda atau entahlah, tapi Nadine hanya berharap jika Langit tak akan meninggalkannya dalam waktu dekat.
"Kamu gabakal ninggalin mamah kan?" Nadine tau meskipun bertanya pun, Langit tak akan menjawabnya.
"Bangun yu, nanti mamah masakin makanan kesukaan kamu kayak biasanya. Kata abang Langit mau ke Paris, hm? Nanti kalau Langit udah sembuh sepenuhnya kita jalan-jalan ke Paris yah." isak Nadine mencium lengan Langit yang dibaluti infus.
3 Bulan sudah sejak kejadian kecelakaan itu membuat Langi koma sampai saat ini, hal itu membuat Keluarga Adinata sangat terpukul dengan kejadian itu. Arga yang sekarang jarang pergi ke kantor, Nadine yang sekarang mulai jarang memperhatikan kesehatannya bahkan tak jarang ia pingsan karena kurangnya asupan. Sedangkan Alaska, ia harus menjadi yang paling kuat diantara kedua orang tuanya.
"Kemarin temen-temen kamu kesini sambil bawa bunga dan surat kelulusan kamu, Gibran sama Fajar juga ada. Cepet bangun yah." Nadine mencium pucuk kepala Langit dengan isaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...