Semua orang pasti mengalaminya, setiap waktu pasti ada saja masalahnya. Saat tuhan memberika sebuah masalah, kita tak bisa menghindarinya hanya bisa menerimanya dengan sabar. Karena mungkin akan tergantikan oleh yang lebih baik.
Hal itu yang dialami Langit, kecelakaan 3 bulan lalu yang membuatnya harus terbaring di atas ranjang rumah sakit diera gempuran teman-temannya saling beradu almamater Universitasnya.
Kali ini Gibran dan Fajar kembali menandanginya dengan almamater yang sudah resmi bisa dipakai oleh mereka berdua. Langit menatap bangga saat melihat Gibran dan Fajar yang sedang memamerkan almetnya masing-masing.
"Keren kan ngit, sekarang gue udah jadi anak UI." tutur Fajar bangga.
"Bukan lu doang kali, nih gue juga jadi anak UI juga kali." seru Gibran ikut memamerkan almetnya.
Langit tersenyum tipis melihat itu, mungkin jika ia tidak mengalami kecelakaan saat itu, mungkin sekarang ia bisa ikut memamerkan almet kampusnya. Hanya ada kata mungkin karena semuanya telah terjadi padanya.
Disaat teman-temannya merayakan kelulusan di bulan Mei, tapi dibulan itu ia harus terbaring koma diatas ranjang rumah sakit. Langit sebenarnya sudah diterima di kampus impiannya melalui jalur prestasinya selama ini, hanya saja mungkin ia akan banyak melewati momen karena masa pemulihannya.
"Cepet sembuh yah bro, biar kita bisa buat jedag-jedug, lo pake makara ijo si Fajar pake makara apatuh biru, gue pake makara merah. Nanti kita jedag-jedug depan gedung UI. Okey!" Langit mengangguk antusias mendengarnya, setelah itu pintu kamar rawatnya kembali terbuka menampilkan seorang pemuda dengan sebuah paper bag ditangannya.
"Mas Elang!" seru Langit kala melihat Elang memasuki kamar rawatnya.
Elang tampak terkekeh saat melihat antusias dari Langit. Kemudian ia tersenyum saat melihat Gibran dan Fajar tengah disamping Langit.
"Eh iya, mas kenalin ini Gibran terus ini Fajar." tunjuk Langit pada kedua sahabatnya.
Gibran dan Fajar sedikit membungkuk sopan. Merasa Langit sangat dekat dengan orang itu membuat mereka berdua sangat canggung, Gibran menyenggol Fajar dengan lengannya memberikan pertanda.
"Ngit, kayaknya gue sama Gibran harus pulang dulu. Nanti kalau ada waktu lagi, kita kesini lagi." ucap Fajar sedikit canggung karena terus ditatap oleh Elang.
Langit mengangguk saja kemudian menatap kepergiaan kedua sahabatny. "Kamu temenan sama mereka berdua?" tanya Elang saat Gibran dan Fajar sudah tak terlihat, Langit mengangguk.
"Iya, mereka berdua sahabat aku mas. Dari SD." tekan Langit pada kalimat terakhirnya. "Kenapa emangnya?"
"Gapapa, cuman hati-hati aja sama mereka terlebih tadi sama orang yang pake almet UI makara warna merah." ujar Elang duduk dikursi samping ranjang Langit.
Elang bisa melihat jika kini Langit sedang menatapnya tanya, tapi jika berkata yang sebenarnya takut jika Langit kenapa-napa. Akhirnya Elang mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang ia bawa.
"Nih, mas bawain oleh-oleh dari London." seru Elang mengeluarkan hadiah dari paper bag tadi.
Langit tampak antusias melihat itu, ia segera membuka isi dari kotak itu. Tongkat sihir Harry Potter yang sangat Langit inginkan dari dulu. "Makasih mas, ini yang aku mau dari dulu. Dulu aku sempet bilang kalau ada kesempatan ke London, aku mau beli tongkat ini tapi ternyata mas beliin buat aku." ujar Langit pada Elang, Elang tampak terkekeh lalu kembali membungkuk.
Senyum itu kembali Langit kembangkan saat Elang kembali memberikannya sebuah Hoodie bertuliskan UNIVERSITY OF CAMBRIDGE. "Itu souvenir dari kampus Mas, sengaja Mas beliin karena Alaska pernah bilang pengen hoodie yang kayak gitu." ucap Elang memberikan kembali sebuah paper bag namun ukurannya terlihat lebih kecil dari yang tadi dibawa oleh Elang. "Itu sekalian nitip buat Alaska, Mas gak bisa lama-lama karena Mas juga ada perlu. Bisa sendiri?" Langit mengangguk setelah itu menerima tepukan dipundaknya.
"Cepet sembuh yah, mas pamit dulu." Langit menatap kepergian Elang setelahnya kembali sibuk dengan hadiah yang baru saja diberikan oleh Elang.
Elang menutup pintu ruang rawat Langit rapat, setelah itu ia berkutat dengan ponselnya sembari berjalan menjauhi ruangan Langit.
"Dia baik-baik aja, tapi sayangnya ternyata dia temenan sama anak itu."
~•0•~
Alaska menurunkan ponsel itu dari telinganya, ia menatapa hamparan gedung itu dengan cemas. Sampai seseorang datang membuatnya terkesiap.
"Lagi apa? Bentar lagi mau dimulai." ucap Arga melihat Alaska yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Abis teleponan sama Mas Elang, katanya hoodienya udah dititipin di Langit." jawab Alaska memasukkan ponselnya kedalam saku jasnya.
Arga tampak mengangguk, ia pun tahu jika setiap Elang pulang ke Indonesia Alaska selalu menitip barang keinginannya entah itu berupa makanan, pakaian ataupun barang. Elang akan tetap menyanggupinya asal tidak yang aneh-aneh saja.
"Udah kan? Kita masuk sekarang, udah mau di mulai." Alaska dan Arga memasuki ruangan rapat itu bersama.
Alaska duduk disebelah Arga, mengamati isi percakapan dari rapat itu hanya tentang saling menyuntikkan dana. Alaska yang hanya pemegang anak perusahaan Arga hanya bisa mengangguk-ngangguk saja karena nanti akan Arga jelaskan kembali.
Sampai beberapa menit berlalu, rapat itu akhirnya selesai. Alaska keluar terlebih dahulua, ia melikuk-likuk tubuhnya untuk memperlancar ototnya yang kaku, ia melihat kebelakang melihat Arga yang masih sibuk. Kemudian Alaska pergi menuju kamarnya karena masih satu gedung dengan tempat ia rapat. Sesampainnya disana, Alaska dikejutkan dengan sebuah kotak berukuran sedang berada di depan pintu kamarnya.
Alaska mendengus kesal, ia meraih kotak itu dan membawanya ke kamar hotel. Kali ini dalan kotak itu ada inisial, seolah tahu jika tak ada inisial tak boleh masuk hotel ini. Lama Alaska menatapa kotak itu, sampai akhirnya merasa penasaran akhirnya ia membuka kotak berwarna polkadot itu.
Jantungnya seakan berhenti sejenak saat tahu isi dari kotak itu. Foto Langit yang Alaska tahu itu pasti baru dan seekor burung yang sudah mati. Alaska menutup mulutnya tak kuat saat melihat foto sang adik dilumuri oleh banyak darah dari burung itu. Belum sampai disitu, Alaska kembali menemukan sebuah gulungan kertas didekat bangkai burung tadi.
Alaska menatap sekitarnya terlebih dahulu takut jika Arga sudah berada di dekatnya tanpa ia ketahui. Terlebih dahulu Alaska menghela nafasnya kasar harus siap dengan isi dari surat itu.
Bello, Tuan Alaska.
Bagaimana hadiahnya, suka?
Saya hanya bisa mengambil potret adik kamu, kalau aja gak ada orang itu mungkin adik kamu kini sudah terbaring tak bernyawa di ruang Jenazah. Tapi tenang saja, masih banyak rencana saya yang bisa membuat kalian semua menangis darah atas kehilangan.
-F-Alaska meremas kertas itu kuat, lalu beralih pada foto Langit. Alaska terjatuh tertunduk, ia merasa kembali lengah dengan apa yang terjadi. Monster itu sudah dekat dengan adiknya, bahkan apa yang dibilang Elang semakin membuatnya takut. Takut jika memang benar orang yang menerornya selama ini adalah orang terdekatnya yang kini namanya terlintas dikepalanya.
~•0•~
Lampu itu menjadi satu-satunya cahaya yang ada diruangan itu. Kursi yang ia duduki berputar sembari mengeluarkan suara tawa. Lalu matanya bergulir menatap foto-foto yang ia ambil beberapa jam lalu dirumah sakit.
Ia merasa jika kemenangan akan segera menghampirinya. Ia tersenyum getir menatap foto yang ada di depannya, kemudian monitor yang ada di sebelahnya menyala. Dengan cepat ia mendengarkan isi percakapan itu, ia mendengus kesal saat yang ada hanya dipercakapan itu bukan sesuai yang ia mau.
"Katanya sudah menyesal, tapi tetap saja kembali melakukan lagi kesalahan, bahkan lebih besar dari sebelumnya." gumamnya menyindir isi dari percakapan dalam monitor tadi.
Bumantara
13 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...