Langit menatap jendela kamar rawatnya sendu, ia merasa seperti benalu sekarang karena telah merepotkan keluarganya.
Tak pernah terbayangkan olehnya jika hari itu akan menjadi hari paling buruk baginya. Langit memejamkan matanya saat merasakan sakit dikepalanya, akhir-akhir ini kepalanya sering sakit dokter bilang jika ini adalag efek operasinya. Padahal sudah 3 bulan ia menjalani operasi itu, entah kenapa ia sering merasa sakit secara tiba-tiba.
"Abang kemarin beliin kamu roti, tadinya mau dikasih kemarin tapi kamunya tidur sampe malem jadinya sekarang aja dikasihnya." ucap Alaska memperlihatkan roti yang kemarin ia beli pada Langit.
Langit berbalik menatap Alaska, sebenarnya Langit menentang Alaska untung menjaganya karena ada Nadine dan Arga. Tapi entah mengapa setiap kali Langit menyuruhnya pulang untuk beristirahat Alaska selalu beralasan jika dirumahpun ia tak melakukan apapun dan banyak lagi alasan yang dikeluarkan olehnya.
"Iya, makasih. simpen aja dulu." ucap Langit serak. Alaska mengangguk kemudian kembali menyimpan kantong kresek yang berisikan roti itu di atas meja.
Langit kembali fokus pada jendela kamar rawatnya. Sampai panggilan Alaska membuatnya kembali memalingkan wajahnya.
"Langit."
"Hm? Kenapa bang?" tanya Langit menoleh pada Langit.
Alaska terdiam sejenak saat melihat Langit dengan muka pucatnya dan nasal canul yang bertengger di hidungnya. "Gak pa-pa, gak jadi lanjutin aja. Kalau mau apa-apa panggil abang." ucapnya, Langit kembali fokus pada jendela kamar rawatnya.
Sedangkan Alaska menelan ludahnya, entah kenapa akhir-akhir ini ia selalu terpikirkan dengan isi surat kemarin. Tapi ternyata tadi malam Langit tidak kenapa-napa dan dirumahnya pun aman. Alaska tetap saja was-was dengan itu, takut ia lengah sedikit saja keluarganya terancam.
Sedang asik memperhatikan Langit, perut Alaska tiba-tiba sakit. "Kenapa harus sekarang sih?" geramnya memegangi perutnya. "Langit... abang ke toilet dulu yah." tutur Alaska berlari menuju toilet.
Langit memandang Alaska yang terbirit ke toilet, sampai seorang perawat datang dengan sebuah wadah stainles ditangnnya. Langit mengernyi bingung, bukankah tadi pagi sudah? Dan sekarang baru saja menunjukkan pukul setengah sembilan dan akan diberi obat lagi pukul 12 siang nanti.
"Bukannya tadi udah yah? Kan dikasih lagi nanti siang?" tanya Langit memperhatikan perawat itu yang sedang mempersiapkan alat suntik.
"Tadi ada obat yang ketinggalan karena yang ini resep baru dari dokter." jawabnya. Langit mengangguk saja tak peduli yang terpenting ia bisa cepat keluar dari gedung ini.
Langit memperhatikan perawat itu yang sedang menyuntikan alat suntik ke selang infusnya, ada reaksi aneh yang terjadi ketika obat itu berhasil masuk ke tubuh Langit.
Setelah semuanya selesai perawat itu pergi berpamitan, bersamaan dengan Alaska yang baru saja keluar dari toilet sembari menepuk-nepuk perutnya.
"Lega bang?"
Alaska menatap Langit sejenak lalu mengangguk dan ikut duduk disamping ranjang Langit. "Lumayan lah." jawab Alaska tersenyum.
Langit ikut tersenyum dan kembali fokus pada jendela kamarnya. Sampai beberapa menit berlalu, Langit menghela nafasnya kasar entah mengapa ia merasa tiba-tiba saja sesak. Matanya bergulir menatap Alaska yang ternyata sudah pindah ke sofa, Langit berusaha memanggil Alaska tapi suaranya seakan tercekat karena rasa sesak itu semakin menjadi. Pandangannya tiba-tiba saja memburam, tangan Langit terulur meraih gelas disampingnya.
Prang~
Alaska terbangun secara spontan saat memdengar suara pecahan. Matanya tak sengaja melihat Langit yang sedang meringkuk sembari memegangi dadanya. Dengan gerakan cepat Alaska langsung menghampiri Langit, ia menepuk punggung Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...