Beberapa hari berlalu. Kini keluarga kecil itu sedang melakukan sarapan bersama. Langit menelan makanannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya tangannya terulur hendak mengambil gelas yang berisikan air putih. Namun, belum sempat gelas itu menyentuh bibirnya. Gelas itu terjatuh hingga mengundang tatapan dari keluarganya.
"Langit."
Langit tak merespon. Pandangannya memburam, telinganya berdenging. Langit mengerjapkan matanya berusaha menormalkan pandangannya. Sampai beberap detik kemudian, pandangannya kembali membaik.
"Gapapa?" tanya Nadine khawatir.
Langit menggeleng, kemudian mengambil gelas baru dan kembali mengisinya dengan air putih. Ia minum secara perlahan. Lalu kembali melanjutkan sarapannya.
"Karena kaki kamu udah pulih dan dokter juga udah ngebolehin kamu beraktivitas seperti biasa. Jadi mulai minggu depan, kamu udah boleh kuliah nyusul temen-temen kamu." ucap Arga sembari memperlihatkan almet kampus yang sangat Langit idam-idamkan sedari dulu.
Langit tersenyum senang, menerima almet pemberian Arga yang akan menemaninya kuliah minggu depan. "Makasih pah." ucap Langit menatap bangga almet itu.
"Wih! Bentar lagi ada calon dokter nih!" Seru Alaska sedikit menyenggol bahu Langit.
"Belajar yang rajin, jangan lupa istirahat juga. Nanti pas masuk kuliah pasti kamu lebih sibuk dari biasanya." ujar Nadine diangguki patuh oleh Langit.
"Sekarang lanjutin lagi sarapannya." ucap Arga.
Ketiganya mengangguk, kembali melanjutkan sarapan paginya kala itu. Begitupun Langit yang melanjutkan sarapan sembari tersenyum, karena minggu depan ia sudah mulai kuliah menyusul kedua sahabatnya yang sudah lebih dulu duduk di bangku kuliah.
~•0•~
Siang ini Langit berencana untuk pergi ke sebuah tempat. Ia mengendarai motornya dengan pelan karena perintah dari Nadine. 30 menit waktu yang ia butuhkan hingga bisa sampai di tempat itu.
Langit menatap bingung area sekitar. Sebab tak ada orang ataupun kendaraan yang melewati tempat itu. Dengan ragu, ia mulai masuk ke dalam bangunan itu. Aroma debu langsung menusuk hidungnya, ia merogoh ponselnya dan langsung menyalakan senter.
"Hallo, ada orang?" ucap Langit sembari menoleh kesana dan kemari.
Beberapa menit berlalu. Langit sudah menelusuri area tempat itu. Ia berdecak kesal karena di bohongi oleh temannya sendiri yang saat itu ia percaya untuk mencari sebuah informasi.
Hendak kembali ke motornya. Namun, sebuah pukulan berhasil mengenai area belakang kepalanya. Belum sempat Langit melihat siapa yang memukul, pandangannya sudah mulai gelap yang berakhir ia jatuh tak sadarkan diri.
~•0•~
Kelas itu sudah selesai beberapa menit lalu. Kini Fajar sedang sibuk dengan ponselnya karena Gibran yang tiba-tiba saja tidak bisa di hubungi. Bertepatan dengan itu, sebuah panggilan masuk membuatnya segera mengangkat telepon itu.
"Hallo jar, lo liat Langit gak? Tadi siang katanya mau ada ketemuan sama seseorang, dia bilangnya cuman sebentar. Tapi ini udah mau jam 5."
Fajar mengerutkan keningnya, tak biasanya Langit seperti ini. "Enggak bang, dia gak bilang apa-apa kalau ada pertemuan. Nanti gue coba tanya anak-anak lain deh, gue juga baru selesai kelas jadinya tadi ponsel gue matiin." jelas Fajar beranjak dari tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...