Teguh dalam pendirian yang selalu ia buat sendiri membuatnya berhasil berada dititik ini, baginya melupakan masa lalu memang sulit mengingat banyak kejadian yang bahkan sangat buruk baginya. Tak pernah terbayangkan jika ia akan bisa berhasil berada dititik ini dengan kakinya sendiri.
Kepalanya ia dongakkan menatap langit yang sudah dicampuri warna jingga, tangan itu terangkat lalu menampar pipinya sendiri dengan keras. Orang sekitar mungkin akan menganggapnya gila, berteriak sendiri menampar dirinya sendiri tanpa ada seorangpun yang menerimanya.
17 Tahun hidup tanpa bimbingan seorang ibu, bagi Alaska itu hal sangat berat sekali. Di tinggal pergi oleh ibunya karena keegoisan ayahnya di usia yang terbilang cukup kecil. Alaska merasa dunianya hampa, bahkan mungkin tak ada kehidupan sama sekali. Beberapa tahun ia menjalani hidupnya dari jatuh, bangun kembali jatuh, bangun kembali dan terus saja terulang tanpa ada ujungnya.
Sampai sebuah uluran tangan melingkar dibelakang lehernya, Alaska memutar kepalanya menatap kesebelah kanan yang sudah ada Nadine tersenyum padanya.
"Gak pa-pa, lampiasin aja. Mamah tau ini berat buat kamu." ucap Nadine menarik Alasla kedalam dekapannya.
"Berat mah buat aku, bahkan sangat berat. Aku merasa belum bisa menuhin peran jadi abang buat Langit. Aku merasa belum berhasil mah." lirih Alaska dalam dekapan Nadine.
"Anak ini masih kecil mah, hanya saja dipaksa dewasa oleh keadaan. Anak ini belum dewasa mah, jiwanya masih terjebak dimasa lalu hanya raganya yang kini ada disini. Pikirannya terlalu berisik mah meskipun apapun sudah terjamin, tapi tetap saja kepala aku selalu berisik. Cacian orang-orang sekitar tentang mamah masih terngiang dikepala aku bahkan wajah mereka selalu berseliweran dikepaku. Bagaimana mereka menghina mamah yang bahkan mereka gatau aslinya bagaimana. Mah... anak ini masih belum dewasa ternyata, anak ini masih butuh pegangan ternyata. Cape mah... " keluh Alaska dalam dekapan Nadine, hatinya merasa tercubit saat mendengar keluhan Alaska.
Nadine paham sangat-sangat paham bagaimana kondisinya saat itu, terus dipaksa oleh waktu yang membuatnya tak memenuhi tanggung jawabnya sebagai ibu bagi Alaska. Nadine memejamkan matanya erat tak kuasa menahan isaknya.
"Aka kecil mamah udah besar yah sekarang. Maafin mamah Alaska, karena mamah belum bisa jadi ibu yang baik buat kamu dan Langit, maafin mamah yang belum bisa menuhin keinginan kamu, maaf maaf dan maaf. Hanya itu yang bisa mamah katakan." kata Nadine dengan isaknya masih dalam memeluk Alaska.
Nadine tahu jika hari ini adalah hari terberat bagi Alaska, entah apa yang sebenarnya saat ini sedang terjadi tapi Nadine dapat melihat guratan lelah diwajah Alaska akhir-akhir ini yang menandakan jika Alaska sedang tidak baik-baik saja. Baginya kebahagiaan kedua anaknya menjadi prioritas utamanya, dan saat Alaska mengutarakan isi hatinya. Nadine jadi merasa gagal menjadi seorang ibu saat itu juga.
"Aka maafin mamah, asal Aka masih jadi Aka kecilnya mamah kan?" Nadine mengangguk saat itu juga, seberapa besar usia Alaska dan Langit nanti. Nyatanya ia akan tetap menganggap keduanya anak kecil yang masih perlu sosok ibunya.
~•0•~
"Kenapa mata lo sembab? Mamah juga." tanya Langit serak melihat Alaska dan Nadine yang baru saja datang dengan mata sembab.
"Kelilipan." jawab Alaska asal.
"Kelilipan masa barengan." ucap Arga saat mendengar jawaban konyol dari Alaska.
Lalu Arga beralih menatap Nadine yang sedang membereskan barang didekatnya. "Kenapa mah?" bisik Arga pada Nadine.
Nadine menggeleng. "Bukan apa-apa, cuman saling berbicara dari hati ke hati aja." jawab Nadine kembali membereskan barang-barang yang akan dibawa kerumah hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...