Setelah acara makan malam tadi. Langit kembali ke kamarnya dengan secangkir kopi yang menemaninya malam ini.
Lembaran buku itu ia buka untuk mencari jawaban tugasnya. Sesekali ia memakan roti yang tadi sempat ia beli, mau bagaimana pun roti tetaplah nomor 1 baginya.
Suara ketukan pintu itu terdengar. Alaska disana memunculkan kepalanya lewat celah pintu yang sedikit terbuka.
"Masuk aja bang." ucap Langit sedikit serak karena terlalu lama menangis.
Mendengar itu Alaska masuk dan langsung duduk di dekat Langit. "Lagi ngapain?" tanya Alaska penasaran melihat Langit.
"Ngerjain PR." jawabnya masih terfokus pada buku catatannya.
Alaska mengangguk mendengar itu. Memilih pergi ke balkon kamar itu untuk menghirup udara malam sembari melihat bintang.
Terlintas di pikirannya tiba-tiba. Alaska kembali ke dalam dan duduk di samping Langit memperhatikan adiknya yang sedang mengerjakan PR-nya.
"Kamu punya cita-cita?" tanya Alaska tiba-tiba membuat Langit berhenti menulis.
Langit menoleh ke arah Alaska. Orang mana yang tidak punya cita-cita pikirnya. Pasti semua orang memiliki cita-cita. "Punya. Kenapa?"
"Apa?"
"Dokter." jawab Langit cepat.
"Kenapa?" tanya kembali Alaska.
"Pengen aja. Bukan sih, kadang ngeliat orang yang sakit ga punya biaya itu sulit ke rumah sakit. Apalagi kalau Rumah Sakitnya gak nerapin BPJS." jawab Langit kembali pada kegiatannya.
Mendengar itu dahi Alaska mengerut. Tak paham dengan apa yang dikatakan Langit. "Maksudnya?"
Langit menghela nafasnya sejenak. Ia menutup buku tulisnya karena memang pekerjaan rumahnya sudah selesai. Memilih berjalan menuju balkon yang diikuti oleh Alaska di belakangnya.
Ia menatap bintang yang ada di langit malam itu. Menghirup udara malam yang sudah menjadi candu baginya. "Ekonomi orang itu beda-beda. Dulu aku pernah kesusahan cari biaya buat bawa mamah ke rumah sakit. Tapi untungnya ada satu dokter yang saat itu ikhlas nolongin mamah, gue akui beliau hebat, bahkan sangat hebat. Di era gempuran orang-orang ingin mendapat upah. Tapi beliau dengan kesungguhan hatinya nolongin mamah bahkan sampai sembuh." ucap Langit masih betah memandang bintang-bintang.
"Jadi kesimpulannya?"
"Gue pengen nolongin nyawa orang-orang dengan ikhlas meskipun tidak dibayar sekalipun. Tapi kesembuhan mereka menjadi prioritas utama gue." ujar Langit ikut duduk bersama di dekat Alaska.
"Kalau Abang punya cita-cita?" tanya Langit penasaran dengan cita-cita Alaska.
"Ada. Tapi udah ke wujudin." ucap Alaska menatap Langit.
"Apa cita-citanya?"
Alasaka menghela nafasnya sejenak. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pembatas balkon itu. "Ketemu sama mamah." ucap Alaska membuat Langit terkejut mendengarnya.
"Sejak kejadian itu. Abang gak pernah ketemu sama mamah, terakhir kali waktu Abang pulang sekolah dasar. Mamah ada disana nungguin gue pulang sambil sembunyi-sembunyi karena takut papah liat. Besoknya mamah balik lagi." Alaska menghentikan ucapannya saat mengingat hal itu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara ✔
Teen FictionSeorang remaja yang bernama langit baskara, 17 tahun sudah ia hidup tanpa sosok seorang ayah. Hidup dalam dunia yang menurutnya kadang adil dan tak adil. "Kita punya masalah berbeda yang gabisa dianggap remeh, tapi mereka malah menganggap remeh masa...