004. Pertemuan
“Kita berdua pulang dulu ya, Van. Gimanapun nanti, lo harus kabarin kita. Gue do'ain calon suami lo sebening body mobil ferrari.” Amanda mengusap-ngusap bahu Vani.
Pipi berdengus, “Sekalian aja semulus oli nya, hahahaha ....”
Amanda ingin ikut tertawa namun gadis itu segera menyenggol Pipi ketika melihat betapa kusutnya wajah Vani saat ini. Ah, Pipi melupakannya.
Vani mengangguk lemah, “Thanks, iya gue kabarin kalian nanti.” ujarnya.
Pipi dan Amanda mangangguk, “Iya. Lo yang semangat dong! Jangan biarin diri lo selemah ini di depan dia. Inget misi kita semalam, Van. Di mata dia, lo harus jadi cewek kuat yang nggak akan pernah goyah! Jiayou!”
Lagi-lagi Vani hanya mengangguk lemah.
Pipi menipiskan bibirnya, “Kalo gitu gue sama Manda cabut. Dah, Van!” pipi melambaikan tangannya seraya menarik Amanda menuju mobilnya.
Melihat kedua temannya sudah benar-benar pergi, Vani langsung membalikkan tubuhnya menutup gerbang lalu kembali masuk ke dalam rumah. Helaan napas terdengar dari mulut gadis itu saat melihat anak tangga. Rasanya ingin kabur saja dari rumah. Tapi gadis itu bukan seorang pengecut yang akan lari dari masalah.
“Van! Sini!”
Baru saja gadis itu melewati satu anak tangga, Jihan memanggilnya di depan kamar Wanita itu di dekat tangga.
“Sini Ibu mau kasih sesuatu!” ujar wanita itu lagi dengan senyuman lebarnya yang terkadang membuat Vani merasa bersalah karena pernah membencinya. Mau bagaimana lagi? Vani masih kaget dengan keputusan itu.
Terpaksa Vani mendekati Jihan seraya merundukkan wajahnya tidak sanggup menatap wanita itu.
Sesampainya di depan Jihan, wanita itu mengusap bahu Vani lalu mengangkat dagu gadis itu agar menatapnya, “Ibu ngerti kondisi kamu saat ini, ayok masuk,” Jihan langsung menarik tangan Vani untuk masuk ke dalam kamarnya. Zaki sudah tidak ada di sana, sepertinya sudah berangkat kerja, atau ya ke rumah sakit.
Jihan membawa Vani duduk di tepi kasur, lalu wanita itu beranjak mendekati lemarinya mengambil sesuatu yang di baluti sebuah kotak.
“Nih,”
Vani menatap lemah kotak itu, kotak kardus berwarna coklat. Dengan lemah gadis itu menerimanya.
Jihan tersenyum lalu duduk di sebelah Vani seraya memeluknya dari samping, “Ibu seneng kamu nerima semua ini, kamu bilang kamu mau banggain kami kan setelah lulus sekolah?”
Iya, tapi itu semua gugur karena Vani harus menerima semuanya. Semua mimpi Vani hilang gitu aja saat kabar buruk ini menimpanya.
“Kami udah bangga sama kamu sebesar maupun sekecil apapun itu yang kamu lakukan, Van. Jadi jangan berpikiran kalo kamu belum bisa banggain kita.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGAL • [ON GOING]
Teen FictionPerihal pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk di laksanakan apalagi di jalani. Belum lagi, umur Vani yang masih 19 Tahun belum berpikir jauh hingga ke jenjang tersebut. Vani yang tidak terima dengan perjodohan itu pun berusaha menggunakan beberap...