031. Kesempatan Dalam Kesempitan

147 8 2
                                    

031. Kesempatan Dalam
Kesempitan

     “Hubungan kalian membaik, Van

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     “Hubungan kalian membaik, Van. Ayah seneng liatnya.” ujar Zaki seraya memakai sepatunya. Vani yang sama-sama tengah memakai sepatunya itu pun menghela napasnya, “Terpaksa.”

     “Kok terpaksa?”

     Vani menegakkan punggungnya, “Kalo Vani nggak baikin dia dan minta buat jaga jarak, Vani nggak nyaman Yah di kantor. Tukang cari masalah itu orang.”

     Mendengar pernyataan putrinya, Pria setengah paruh baya itu mengusap pucuk Vani yang terbalut hijap, “Kamu nggak tulus?” tanya nya lalu menggeleng kepala, “Memangnya Arsel cari masalah apa sama kamu Van? Ayah nggak percaya kalo dia gitu.”

     “Ayah nggak akan ngerti. Begitupun Ibu. Aku mau berangkat dulu. Oh iya, salam ke Ibu ya Yah, bilangin juga sama dia nanti nggak usah repot-repot buat beresin baju Vani. Nanti Vani pulang ke sini dulu kok.” ujarnya lalu menyalimi Zaki. Sepagi ini Jihan memang sudah pergi ke pasar. Katanya ingin berburu diskon di langganannya. “Asalamuallaikum.” Vani langsung menghampiri motornya yang sudah terparkir di halaman rumahnya. Sebelum benar-benar pergi, Vani menghidupkan klaksonnya.

     Helaan napas keluar dari mulut Zaki saat Vani sudah menghilang dari pandangannya. “Wa'alaikummussalam.” Pria itu jadi merasa khawatir. Vani sungguh masih kekanakan. Apa Arsel akan selalu sabar menghadapinya. Lain kali pria itu harus mengobrol empat mata dengan Arsel. Banyak sekali perbedaan antara Vani dan Arsel yang sudah Zaki yakini akan merepotkan sekali Arsel. Atas keyakinan yang Arsel katakan padanya itu sedikit melegakannya. Tapi tetap saja, Zaki malah merasa tidak enak. Itu terlalu merepotkan Arsel.

     Melihat Jihan sedikit kesusahan membawa banyak kantong kresek berukuran besar, Zaki langsung menghampiri wanita itu untuk membantunya, “Biar Ayah yang bawa,” pria itu mengambil alih semua kantong kreseknya.

     “Vani udah berangkat?” tanya Jihan mengekor.

     Zaki mengangguk. “Dia nitip salam juga sama kamu. Dia juga bilang, kamu nggak usah repot-repot mempersiapkan untuk Vani pindah katanya.”

     “Hah ... Rasanya lega ya Yah, ngeliat Vani udah mulai akrab sama Arsel. Mereka juga bahagia kayaknya.”

     “Tapi Bu, Ayah khawatir.”

     Kedua alis Jihan tertaut, “Kenapa khawatir? Harusnya Ayah seneng dong ngeliat anak kita udah mulai merasakan kebahagiaannya.”

     “Vani itu belum dewasa Bu, tadi aja dia ngomong jujur ke Ayah kalo dia itu terpaksa. Vani terpaksa. Itu keluar langsung dari mulut Vani. Ayah rasa juga Vani ini selalu mencari masalah. Ayah takut Arsel hanya harus memaklumi dan mengalah sama Vani. Ayah takut Vani ini membebani Arsel terus menerus.”

     Kekhawatiran Zaki tersalurkan pada Jihan. Wanita itu juga jadi memikirkannya. Benar kata Zaki, Jihan juga sangat mengetahui bagaimana sifat anaknya itu. “Yah, jangan khawatir ya, Ibu yakin kalo Vani nggak akan begitu selamanya kok, dan Ibu percaya, kalo Arsel menyayangi Vani tulus. Kalopun mereka ada masalah, Ibu yakin itu akan terselesaikan dengan cara mereka sendiri. Terkadang kita juga takut. Tapi tugas kita sekarang itu adalah mendo'akan mereka agar baik-baik saja. Sekarang biarkan mereka yang menjadi peran dalam rumah tangga mereka. Oke?”

LEGAL • [ON GOING]   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang