014. Terpilih?
“Bisa aja ya gue bunuh lo sekarang juga!” Vani semakin mengeratkan tangan kanannya yang melingkar di leher Arsel.
Arsel memejamkan matanya, “Bunuh saja kalo bisa.” ujar laki-laki itu pasrah, “Saya rela mati di pelukan kamu seperti ini.” sambungnya.
“Gila. Inimah bukan di peluk, tapi di cekik. Gak bisa bedain apa?!”
Kedua mata Arsel terbuka. Laki-laki itu menoleh ke arah pintu kaca lemari melihat pantulan dirinya dan Vani, “Kamu lupa temen-temen kamu nunggu di depan?”
Iya juga. Vani langsung melepaskan tangannya dari leher Arsel, “Awas ya! Urusan kita belum selesai!” gadis itu langsung beranjak menuju kamar mandi.
Arsel tersenyum simpul seraya ikut beranjak dari kasur. Laki-laki itu berjalan menuju jendela yang dimana di sana langsung terarah ke depan bertujuan untuk melihat teman-teman Vani.
Saat Arsel membuka gorden, laki-laki itu sedikit terkejut oleh Amanda dan Pipi yang tengah asik makan bubur melambaikan tangannya ke arah laki-laki itu. Arsel mengangguk sebagai respon.
“Gue harap lo masih ada dan denger! Gue minta sampo lo Ya?!” teriak Vani membuat Arsel menoleh ke arah pintu kamar mandi.
“Itu milik kamu!” ujar Arsel juga sedikit berteriak. Laki-laki itu langsung membalik menuju lemari. Di lihat pantulan dirinya dari atas hingga bawah, Arsel harus memastikan kalau dirinya ini benar-benar sudah ferfect di depan Vani.
Tiba-tiba kedua sudut bibir Arsel tertarik ke atas. Ini baru pertama kalinya laki-laki itu membawa seorang perempuan ke rumahnya terutama kamarnya. ternyata Vani lah yang beruntung. Harusnya gadis itu bangga memiliki suami seperti dirinya ini.
Vani yang keluar dari kamar mandi tanpa Arsel sadari itu pun hanya memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu. Ternyata Arsel ini benar-benar gila. Lihat saja dia, senyam-senyum sendiri seperti itu.
“Khem,” deham Vani seraya berjalan mendekati Arsel berniat untuk mengambil sisir di atas laci.
“Selesai?”
Vani mengangguk, gadis itu menyimpan handuk yang semula di gunakan untuk mengeringkan rambutnya ke sebelah pundak, “Gini ya, ini resiko lo karena lo udah ngurung gue di rumah lo kayak gini. Gue masih belum bisa balikin ni piyama, sama gue juga pastinya bakal minjem barang-barang lo kayak gini,” Vani mengangkat sisir di tangannya ke depan wajah Arsel, “Tenang aja, gue nggak punya penyakit bawaan kok. Kalo kata pepatah kan ni sisir adalah barang yang jangan terlalu sering di gunakan bareng orang lain. Tanya Amanda sama Pipi aja kalo nggak percaya.”
Arsel meraih sisir yang di pegang Vani, “Saya maklumi karena kamu masih belum berpikiran luas,” ujarnya lalu mengisir rambut Vani tanpa permisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGAL • [ON GOING]
Teen FictionPerihal pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk di laksanakan apalagi di jalani. Belum lagi, umur Vani yang masih 19 Tahun belum berpikir jauh hingga ke jenjang tersebut. Vani yang tidak terima dengan perjodohan itu pun berusaha menggunakan beberap...