044. Hampir Seratus Persen
“Sudahlah Pah. Arsel juga tidak meninggalkan tanggung jawabnya kan? Dia tetep ngurusin perusahaan di sini. Jadi jangan terlalu memaksa dia. Mungkin dia juga butuh memerhatikan usahanya di Bandung. Vani juga ke sana. Dia ngabarin Mamah kok.”
“Vani ke sana? Untuk apa?”
Rea mengangguk. Wanita itu ikut duduk di samping Hadi. Tangannya menepuk pelan bahu pria itu, “Iya. Vani ke sana buat bicara hal ini baik-baik sama Arsel.”
“Kenapa kamu biarin Vani ke sana, Mah? Papah nggak mau dia keseret masalah saya sama Arsel, Mah.”
Wanita itu menghela napasnya, “Kamu nggak mau masalah kamu nyeret siapa pun. Tapi kamu sendiri yang ngebuat orang lain untuk ikut campur. Pah, jujur Mamah bingung sama kamu. Dari dulu sampai sekarang, kamu selalu saja menyalahkan Arsel. Tolong kamu jelasin sama aku, sebenarnya kenapa kamu mempermasalahkan usaha Arsel di Bandung. Harusnya kamu bangga kan sama dia? Ngeliat anak kamu sukses ngebangun usaha nya sendiri. Kenapa kamu malah ngecewain usaha dia?”
“Mah! Ketika saya bilang saya tidak suka. Saya tidak suka!”
“Ya tapi kenapa Pah?”
Hadi mengusap kasar wajahnya. “Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang.”
“Itu. Itu masalahnya, Pah. Kamu kurang terbuka.” Rea langsung bangkit, “Dari dulu sampai sekarang, kamu sering kali menyudutkan usaha Arsel tanpa aku tau apa masalahnya. Apa yang terjadi? Aku bela kamu. Aku ikut menyudutkan anak aku sendiri karena aku kira ini adalah masalah besar buat kamu. Aku lupa, aku lupa kalo di balik semua ini, ada anak aku yang kehilangan dukungan. Sampe-sampe dia jauh dari kita.”
“Rea.”
“Kamu itu egois Pah.”
Kedua mata Hadi memejam. Kedua tangannya terkepal kuat, “Maafkan saya.”
“Bukan aku yang butuh minta maaf kamu, tapi Arsel. Kamu nggak ngerasa bersalah apa? Ketika ngeliat dia nangis putus asa di atas kuburan Kakeknya. Sebenarnya kita ini apa? Bahkan anak kita meminta pertolongan pada Kakeknya melewatkan kita sebagai orang tua. Kita itu tidak berguna buat Arsel, Pah!”
Hadi ikut bangkit. Pria itu memeluk Rea dari belakang, “Saya salah. Saya akan ceritakan semuanya.” ujarnya pelan.
“Aku juga salah, kenapa aku baru ngerti akhir-akhir ini. Sejak Arsel di jenjang sekolah menengah, kita sudah membatasi, mengatur, menuntut, bahkan memaksa anak kita untuk mengiyakan keputusan kamu. Padahal dia punya mimpinya sendiri. Tapi apa yang aku liat? Dia tetep nerima, mengiyakan, bahkan melakukan hal yang sama sekali tidak di inginkannya. Aku salah. Kita salah, Pah. Sebenarnya aku sempat mikir, apa kita masih punya wajah di depan anak kita itu. Aku mohon, ceritain apa masalah kamu ini, Pah,” Rea mengusap sudut mata nya yang berair.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGAL • [ON GOING]
Novela JuvenilPerihal pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk di laksanakan apalagi di jalani. Belum lagi, umur Vani yang masih 19 Tahun belum berpikir jauh hingga ke jenjang tersebut. Vani yang tidak terima dengan perjodohan itu pun berusaha menggunakan beberap...