47. Still Waiting for You

535 48 3
                                    

Benar apa yang dikatakan Gabby waktu itu. Kita tidak bisa memiliki semuanya secara bersamaan. Cinta dan karir akan sulit untuk berjalan beriringan, dan salah satunya harus ada yang dikorbankan.

Beberapa tahun terakhir karir Maxim semakin cemerlang. Banyak tawaran dari dalam dan luar negeri, entah itu sebagai pengisi acara atau hanya sekedar tamu undangan.

Namun jika harus ke luar negeri, ia tak bisa berlama-lama. Paling tidak ia hanya bisa memberikan waktu selama 3 hari saja, dan itu sudah termasuk dengan perjalanannya.

Seperti hari ini, ia harus bergegas pulang ke Seoul meskipun hari sudah menunjukkan pukul satu malam. Padahal Dokyung, managernya sudah menawarkan untuk menginap di hotel saja namun Maxim menolak.

Dan Dokyung pun tak keberatan. Ia paham mengapa Maxim bisa seperti ini.

"Bang. Makasih ya, udah mau ngertiin."

"Gapapa Max. Abang paham kok."

Maxim tersenyum lega, ia kembali lagi menatap layar ponselnya.

"Kita mau pulang dulu atau mau langsung?"

"Langsung aja, Bang."

Setiap hari Maxim akan selalu menyisihkan waktunya untuk datang ke tempat itu. Meskipun barang sebentar, Maxim akan tetap datang.

Jika ditanya, lelah? Iya, ia lelah. Namun hanya dengan ini ia bisa menebus kesalahannya.

Sekarang sudah pukul 3 pagi dan Maxim barusaja tiba diruangan kecil ini.

Ia membuka tas ransel yang ada diatas sofa, dan mengambil baju ganti. Lalu ia masuk kedalam kamar mandi untuk membasahi tubuhnya yang lelah dan penuh keringat.

Tak lama setelah itu ia keluar dengan rambut basah dan wajah yang lebih segar. Ia langkahkan kakinya mendekat pada sang pujaan hati yang kini masih setia untuk berbaring memejamkan matanya selama ini.

"Babe, how's your day?"

Maxim duduk di kursi ditepi ranjang lalu meraih telapak tangan Gabby dan mengecupnya.

"Hari ini aku ke Sokcho, disana ada pantai yang pemandangannya indah banget. Kapan-kapan kita kesana ya?"

Maxim letakkan lagi telapak tangan itu, lalu ia mengecup kening Gabby pelan. "Night, sweetheart."

Setelah itu ia mengambil selimut di dalam lemari kecil dan membaringkan tubuhnya di kasur kecil di pojok ruangan untuk tidur hingga pagi menjelang.

Maxim sudah melakukan ini selama 6 tahun lamanya. Rumah tanpa Gabby, bukanlah rumah. Tak ada kehangatan sama sekali didalamnya.

Bahkan kamar VVIP ini sudah seperti rumah kedua baginya. Jika ada waktu kosong, Maxim akan menghabiskan waktunya disini sembari menemani Gabby. Ia tidak ingin istrinya itu kesepian. Biarpun lelah Maxim akan tetap melakukannya.

•••••

Anna membuka pelan pintu ruangan dimana Gabby dirawat, dan dari pintu masuk ia bisa melihat jelas raut wajah menantunya itu. Cantik sekali.

Ia langkahkan kakinya mendekat, lalu ia usap pelan pipi yang halus itu. Dari tempatnya berdiri, Anna bisa melihat jika putrinya kini semakin terlihat lebih dewasa. Tanda kerutan halus sudah mulai terlihat diujung pelipis matanya.

Sudah selama ini tapi Gabby masih saja belum mau membuka matanya. Mata Anna berkaca-kaca. Hanya doa penuh harap yang bisa ia lakukan agar putrinya bisa segera bangun dari tidur panjangnya.

"Mam?" sapa Maxim mendistraksi lamunannya.

"Eh, iya Sayang? Udah bangun?" Cepat-cepat Anna menghapus air matanya.

"Sarapan yuk, Mami bawain makanan kesukaan kamu." Anna mengambil kotak nasi, lalu membukanya di atas meja.

"Wahh, enak tuh. Maxim mandi dulu ya, Mam." ucapnya sebelum pergi masuk kekamar mandi.

Anna kembali menitikkan air mata. Melihat putranya memilih tidur ditempat ini membuat hatinya teriris perih.

"Mam, what happened? kenapa nangis?" Maxim tiba-tiba saja keluar dari kamar mandi.

"Don't cry.. don't cry.." Laki-laki itu meletakkan kembali handuknya dan duduk disamping sang ibu.

Anna mencoba menghapus air matanya namun sia-sia. Tangisnya tak bisa berhenti semudah itu.

"Maafin Mami ya, Nak? Maafin Papi juga.."

"Salahkan kami yang tidak bisa bertanggung jawab."

"Mami ngomong apa sih?" Tangan Maxim memeluk bahu Anna. "Mami gak perlu minta maaf, gak ada yang salah disini."

"Harusnya Mami dan Papi tidak melempar tanggung jawab itu ke kamu. Tapi Papi tidak punya pilihan lain saat itu.." isak tangis Anna membuat hati Maxim semakin perih. Harusnya ia yang meminta maaf karena pernah egois dan kecewa dengan kedua orangtuanya.

"Mam. Meskipun perjodohan itu tidak pernah ada, Maxim tetap akan menikahi Ariel suatu hari nanti. Karena cuman Ariel, yang bisa bikin Maxim segila ini.."

——-

SECRET | Mark GiselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang