..
Pagi hari di sini terasa hangat dengan sinar matahari yang menguasai.
Namun berbeda dengan Azura. Dia hanya duduk sedari tadi, menghadap jendela yang berhadapan langsung dengan taman belakang kamarnya.
Perasaannya tidak nyaman. Jika mungkin tubuhnya remuk saat tertabrak dulu, lalu bagaimana bisa dia di identifikasi?
Karna seingatnya. Zoya itu terpelanting jauh dan badannya sudah tidak utuh. Atau.. itu hanyalah hayalannya saja?
Ngga mungkin! Jeritnya dalam batin. Itu tidak masuk akal, fikirnya. Dia memejamkan mata dengan sabar.
Memikirkan apa yang akan mulai Ia lakukan dari esok. Tak mungkin baginya hanya berdiam di tempat ini, tapi mana ada yang mau membantunya mencari apapun yang membuatnya tak menganggur. Bukan kurang dana. Hanya saja terasa membosankan rasanya untuk sekedar bersantai-santai di sini.
"Ah, Ibu ... iya bener, Ibu."
Azura mencari ponsel barunya. Memdial nomor telepon Ibu Pantinya. Berdering lama sedikit membuat Azura menggigit jari.
Hingga sapaan dari orang di seberang, membuat Azura menghela nafas lega.
"Hallo, Ibu."
Maria, Wanita yang biasa di panggil Ibu oleh Azura itu menjawabnya dengan antusias, hingga rasanya Azura malu sendiri."Ibu ... boleh Azura repotin sekali lagi?" Tanya Azura ragu-ragu. Memainkan jemarinya, takut-takut sang Ibu menolak permintaan merepotkannya.
Namun di luar dugaan, rupanya Maria malah menanyakan apa yang Azura butuhkan dengan berisik. Seperti Ibu-ibu pada umumnya.
"Anu ... Boleh Azura tanya ada hal yang bisa buat Azura kerja ngga ya?"
Mendengar pertanyaan itu. Maria di landa khawatir. Menanyakan banyak hal, termasuk. Apakah Ia sedang kesulitan di siklus finansialnya?
Hingga lega rasanya memiliki Maria di sisinya. "Engga bu, Azura cuma jengah aja di sini, pengen punya kegiatan." Kata Azura sembari tertawa kecil.
Dia duduk dengan nyaman. Sembari mengusapi perutnya yang sudah terasa berat. Maria mengerti apa yang di maksud oleh anak asuhnya dulu. Sejujurnya sulit untuk mencari sekedar lowongan pekerjaan, bagaimanapun, Azura dalam keadaan kandungan tua. Itu cukup menakutkan dan menghawatirkan.
Hingga ia baru ingat, adiknya memiliki toko roti yang baru saja di buka. Dia segera memberi tahu Azura, untuk menunggu sebentar saja untuknya mengabari Orang yang akan di hubunginya. Mungkin bagian kasir akan cocok di tempati Azura jika tempatnya masih kosong.
Azura mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Menunggu jawaban dari Maria yang entah sedang menanyakan permintaannya pada siapa.
..
Pipi George sudah mulai tirus. Akibatnya terlalu sibuk mencari Azura kemana-mana. Mencarinya secara sembunyi dari media, karna jika ada yang bocor sedikit saja. Mungkin Azura akan terkena dampak bahaya.
Begitu pula dengan Roan beserta saudara-saudara Azura yang sudah lama sekali merasa hidupnya hampa tanpa si kecil lucu di rumah ini.
Roan lelah. Tapi dia tak bisa mengeluh. Dia ingin segera bertemu dengan anaknya. Sulit sekali hidupnya. Hampa dan menyakitkan.
Wilona mendekat dan memberi sang Ayah air mineral. "Minum Pa."
Max berdiri di depan Roan. Ketiganya berada di dalam restoran setelah makan, beristirahat setelah menelusuri kampung yang di berikan oleh sang utusan.
Semoga saja, secepatnya mereka menemukan Azura untuk di peluk. Untuk di rengkuh dan di bawa pulang.
Sedang Fred kini di sibukkan dengan ujian akhirnya yang membuatnya pusing 7 keliling. Bukan, bukan karna pelajarannya. Melainkan Azura yang tak bisa pergi dari pikirannya.
Apakah harus menunggu mati dulu hingga Ia merasa puas akan kepemilikannya? Sayangnya Ia terlalu waras untuk memikirkan itu.
Mana mungkin Ia membuat raga itu terus melompat ke tubuh siapapun dan dengan sulit di raih oleh dirinya sendiri.
Kesulitan usahanya bahkan tak bisa di bandingkan dengan rasa cinta semestanya pada orang lain, hingga kadang kala, rasanya sulit untuk menerima fakta bahwa dia tidak terlalu di anggap.
Harus bagaimana lagi Ia bertindak? Membuat si sampah yang berada di rumah untuk menyelingkuhi si pujaan hati.
Sengaja menyuruh Jane dan Difa untuk menanyakan hubungan antara Callian dan Milona di hadapan bulannya.
Menyuruh penasihat untuk mempengaruhi George supaya memutuskan hubungan mereka.
Hingga bintangnya hanya akan tertuju padanya. Sayang sekali usahanya lagi-lagi terhalang.
Meski dengan percaya diri ia akan mendapatkan dunianya. Zoyanya. Azuranya. Semua kepemilikannya, akan berada di tangannya.
Setelah menyingkirkan bayi dalam perut Azura dengan membuat Azura depresi hingga akan menggugurkan kandungannya. Dia akan membawa kekasih hatinya. Pergi dari sini. Pergi dengan cepat dan melupakan semua orang yang menjadi penghalang kisah cintanya dengan Azura.
Kesayangannya. Dan hidup matinya.
Fredrick menutup mulutnya, tak sabar rasanya menjemput sang kekasih.
..
P
anggilan masuk ke dalam telepon genggam Azura. Melihat nomor kontak dari Maria, dia tersenyum.
"Sore bu." Azura menyapa dengan ramah. Harap tinggi mendapatkan apa yang dia butuhkan.
Hingga suara laki-laki yang sedikit Ia kenali membuatnya mengernyit heran. Apakah Ibu Maria sedang sibuk?
Percakapan demi percakapan membuat azura mau tak mau mendengarkannya dengan penasaran.
"Dia milik saya, anda tinggal berikan alamatnya pada saya."
Azura menelan salivanya gugup. Ada apa ini? Mengapa suara yang biasanya terdengar lembut itu kini terdengar kasar dan mengancam?
Apa ini? Apakah sudah tercium segala usaha kerasnya bersembunyi?
"Anda ini, yang ngambil jenazah Zoya, kenapa sekarang malah tanya saya mas?"
Nafas Azura memberat. Tangannya gemetar dan mulai pergi ke kamarnya. Mengambil sekedar tas berisi uang tunai untuknya pergi lagi.
Maria, tidak mengatakannya secara langsung. Tapi Azura paham maksud dari sang Ibu. Pergi, sang Ibu menyuruhnya segera pergi agar tak tertangkap oleh si pengancam.
Denting pesan masuk membuatnya segera membuka lencana pesan. Alamat singkat yang tidak familiar baginya.
"Saya tau Ibu sedang mengulur waktu. Apakah kesayangan saya sudah kabur dari jangkauan saya lagi?"
Kelopak Maria melebar saat Fredrick melihat ponselnya menyala. Hingga sedetik kemudian. Maria segera melempar ponselnya hingga remuk saat kebetulan sebuah truk terlewat. Ponsel itu remuk hebat.
Fredrick menatapnya tajam. Maria berdoa dalam hati. Tidak apa-apa dengan nyawanya. Asal tidak dengan anak baik itu, dia terlalu bersih untuk berurusan dengan mereka.
Namun, pria itu segera pergi dengan cepat tanpa menunggu apapun. Berhenti taknjauh darinya dan berbalik. Mengangkat pistol dan menembak pahanya.
"Aaah!!!"
..
KAMU SEDANG MEMBACA
Azura (End)
De TodoUntuk menyadari betapa bodoh dirinya. Ia merelakan kehidupan pertamanya dan Kembali hidup di kemudian hari. Tapi anehnya. Dia masih lemah juga. -Tidak di peruntukan bagi yang masih di bawah umur. -Bijak dalam mencari buku yang akan di baca sesuai...