X

1.4K 119 1
                                    

..

Roan kini heran. Bagaimana bisa, ia kecolongan sebegitu mudah? Padahal yang ia percayai, tidak akan ada yang bisa mengancam keberadaan anaknya, Azura.

Selagi itu. Siapa yang dengan mudah bisa mendahuluinya? Lupakan itu. Roan harusnya sekarang bisa fokus pada keberadaan anaknya itu. Melupakan fakta bahwa Rosa malah meninggalkan mereka dalam keadaan berantakan, berakhir semuanya meliar tak tentu arah.

Keluarga bahagia, sebuah kata yang tidak bisa di implementasikan dengan benar. Andai saja dia bisa menjadi kepala keluarga yang lebih baik, mungkin semuanya tak akan menjadi seperti ini.

Kepada siapa dia harus meminta tolong? Menjadi pondasi untuk di sandari, ternyata tidak mudah, tidak semudah apa yang dia pikirkan.

"Pah."

Max mengangkat kedua alisnya bertanya, melihat bagaimana frustasi dari gambaran wajah yang tak terlalu bisa di kontrol. Tangannya menyodorkan air mineral, untuk segera di terima oleh Roan.

Wilona, Andy dan Leon sudah berada di dalam mobil. Berbeda dengan Roan dan Max yang masih betah di area minimart tempat mereka beristirahat.

"Kira-kira. Dia bisa di percaya ngga nak?"

Max tak segera menghadap pada laki-laki yang menyandang gelar sebagai kepala keluarganya itu. Dia tahu sebagaimana berat menjadi beliau. Maka dari itu. Dia tak pernah berfikir untuk menyalahkan keadaan rumit ini untuk sekedar mengeluh, ia sadar seberapa sulitnya ini.

Kehilangan sang ibu, bahkan sudah membuat mereka kesulitan, di tambah Azura. Dan sekarang tinggal mereka berlima. Mencari satu lakon penting yang hilang di tengah malam yang gelap.

"Bisa iya, bisa engga."

Max meneguk minuman soda miliknya hingga tandas. "Andai aja, Ibu itu bisa di percaya, semoga Azura bener-bener baik-baik aja."

Setelah mengatakan itu. Max melemparkan kaleng kosong pada tempat sampah. "Tapi kalau misal engga, semoga juga Azura baik-baik aja."

Sedangkan di dalam mobil. Wilona hanya diam mengamati ponselnya. Untuk apa dia melakukan ini semua? Jika Azura tak kunjung di temukan?

Lalu apa gunanya dirinya sekarang?

"Kak, ambilin tisu dong."

Wilona tersentak, segera mengambil tisu, memberikannya pada Andy yang baru saja memintanya. Pupilnya melebar saat melihat darah keluar dari hidung si bungsu yang sebenarnya.

Eksistensinya terbilang transparan dari pada Azura sendiri. Azura bahkan lebih besar dari anak itu, tapi anak itu tidak di perlakukan dengan amat hati-hati seperti Andy.

Namun, Andy tak pernah menaruh kedengkian seperti yang Milona lakukan pada Azura. Karna Andy sendiri yang memintanya. Meminta Azura untuk menganggapnya seperti Kakak.

"Kamu yakin ngga mau istirahat aja dek? Pulang aja ya? Kita anterin."

Andy menggeleng sembari menahan tisu di bawah hidungnya. Lelah memang, menghadapi ulangan semester, sekaligus mencari keberadaan Azura. Namun apa boleh buat, dia terlalu rindu dan terus berharap untuk segera menemukan Azura.

"Kenapa si? Kamu takut sendirian? Nanti Kak Wilo temenin deh kamu."

Andy terus menggeleng. "Engga-"

"Ini udah kali ke 3 lho kamu mimisan." Wilona memotong penolakan dari Andy. Namun tetap saja begitu.

Andy menghindari tatapan Wilona. "Engga, orang mimisan doang. Nanti juga berenti sendiri."

Leon sendiri enggan ikut campir dengan perdebatan keduanya. Tidak hanya Andy, mereka semua pun kelelahan. Andy, Wilona, Max, Roan, bahkan Leon sendiri pun sama.

Namun mereka juga tak kunjung mundur untuk terus mencari keberadaan sang Kakak, bagaimanapun, satu cahaya itu juga bagian dari mereka. Bagian penting dari mereka.

"Kita cari makan dulu ya? Sambil istirahat bentar."

Semuanya mengangguk. Jam siang memang menunjukkan waktu untuk perutnya di isi. Namun begitu jua, mereka bahkan baru ingat saat sang Papa mengingatkan mereka.

..

Sinar terang menyerang retina mata Azura. Mata dengan gradasi warna yang berbeda itu terbelalak saat mengingat apa yang terakhir ia lihat.

Tubuhnya terasa sakit saat dengan terlalu cepat Ia bawa bangun. Pandangannya mengedar, mengelilingi ruangan yang di penuhi dengan robot-robot yang terpajang apik di etalase kaca mengkilat.

Azura membawa kakinya menyentuh lantai yang terasa dingin. Ac yang menyala dengan derajat minus itu, yang membuat suhu udara ruang terasa bisa membekukan tulangnya.

Helaan nafas gugup itu membuatnya hampir tersandung sandal di depan kakinya.

"Oh, udah bangun?"

Bahkan dengan itu. Azura tak sadar ada remaja yang sudah berdiri di depan pintu membawa lipatan baju.

"Jayden?"

Jayden mengangguk. Tak perlu berkenalan lagi rupanya. Dia sedikit tidaknya tahu anak itu saat dia pergi ke bandara bersama partner siswa kandidat para peserta olimpiade.

"Did i- mm __saya sekarang di rumah kamu?"

Jayden menatapnya sebentar, terdiam beberapa saat dan duduk di samping ranjang, membiarkan Azura tetap berdiri di tempatnya.

"Rumah mama."

Azura mengernyit. "Its just the same thing?"

Jayden menaruh baju yang ia bawa di ranjang. "Rumah saya bukan di sini."

A

zura kikuk. "O-oh.."

Berdiri dengan canggung. Azura tak kunjung mengajukan pertanyaan pada Jayden karna sedikit merasa tertekan. Terlalu banyak pikiran.

"Tante telfon saya. Kebetulan juga saya ada di daerah sana. Jadi ngga nunggu waktu lama. Saya sampai di mana kamu sembunyi."

Azura mengangguk ragu. Perlu atau tidaknya ia percaya. Setidaknya Fred tidak menemukannya, untuk sekarang.

"Silahkan kamu mandi, kalau mau." Jayden berdiri. Di hadapan Azura yang ternyata jauh lebih pendek darinya.

Azura menahan Jayden dengan memanggil namanya, lali bertanya dengan suara pelan. "Kamu udah kabarin Ibu Maria?"

Jayden menatapnya dalam. Lalu mengangguk. "Kalau udah selesai mandi, kamu silahkan turun ke bawah. Saya tunggu."

Azura menatap kepergian Jayden dengan diam, melihat Jayden yang meninggalkan kamar dengan menutup pintu dengan pelan dan tak menimbulkan bunyi. Menipiskan bibirnya lalu melirik baju yang di sediakan Jayden.

Dia menunduk melihat keadaan perutnya yang masih menonjol. Dia jadi berfikir. Apakah Jayden akan mengolok-oloknya setelah ini? Dia sedikit takut untuk menanggapi jawabannya.

Jawaban apa yang akan keluar dari mulut manusia dingin sepertinya? Akankah olokan? Atau ketidakpedulian.

Jadi dari pada berfikir terlalu jauh dan panjang, dia memilih masuk ke dalam pintu yang di tebaknya sebagai kamar mandi. Menghela nafas dan menahan diri untuk tidak kembali banyak fikiran lagi.

..




Azura (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang