1

4.6K 435 20
                                    



"Bun-CIIIIS!" Aku tersenyum lebar sampai seluruh gigi depanku nampak. Mengandalkan cermin, aku melihat pantulan wajahku dan seketika menyesal. Nggak ada yang berubah setelah lima detik nyengir dan bercermin. Aku tetap harus melawan kemacetan demi tiba di tempat kerja. Yang paling tragis dari pagi hariku adalah jeritan di luar kamar. Tanpa tahu apa penyebabnya, aku bisa menduga siapa sumbernya. Pasti Bu Adem Sari berulah. Itu panggilan ibu kandungku. Nama sebenarnya Sari Purwaningsih. Aku kasih panggilan gitu supaya adem sedikit hidupnya, walau sehari-harinya diisi pertikaian. Siapa saja dijadikan lawan tandingnya. Baru semalam dia menjadikan kucing liar sebagai lawan cuma karena kucing itu lewat di depan rumah sambil mengeong. Menggunakan sapu, dia mengusir kucing itu dan malah menyulut kemarahan si kucing sampai dia kena cakar di betis. Apa masalahnya kucing yang mengeong sambil jalan? Emang se-absurd itu hidupnya Bu Adem Sari.

Aku berharap rumah kami punya pintu belakang yang punya akses ke jalan sehingga aku nggak perlu keluar lewat pintu depan dan menghadapi pertikaian Bu Adem Sari. Nyatanya, rumahku macam rumah keong. Pintunya cuma satu untuk keluar ke jalan. Dan aku tahu, pakai naluriku yang sudah terasah, bahwa Bu Adem Sari bertikai di depan rumah.

Ogah-ogahan aku memanggul tas dan berusaha berjalan tegap menuju pintu. Di teras rumah, seperti yang aku prediksi, Bu Adem Sari sedang adu bacot. Pagi ini bukan kucing lawannya, melainkan seorang ibu dengan jambul gunung semeru dan bibir merah glossy yang nggak bisa menutupi fakta seluruh kulit wajahnya butuh botoks.

Aku menyisir sekitar. Beberapa tetangga menonton dari balik gerbang mereka. Karena bukan sekali dua kali Bu Adem Sari berulah di lingkungan ini, mereka pasti malas ikut campur. Biasanya yang menengahi bakal kena serang Bu Adem Sari, sampai Pak RT saja sering pura-pura lagi sakit pas ibuku bermasalah demi bebas dari serangan balik ibu yang nggak terduga.

"Kak, tolong bantuin mama. Aku ada urusan, nggak bisa bantu. Dadah." Tita, adikku yang biasanya goleran di rumah, menepuk bahuku lalu ngibrit. Masih sempat dia menghindar pas Bu Adem Sari dan musuhnya sedang saling dorong macam pesumo.

Bantu dorong ibu dong biar dia menang, pikirku nyeleneh.

Aku mendesah. Kemudian menurunkan tas ke kursi rotan tunggal yang ada di teras.

Duh Gusti, tolong segera kirimkan pangeran bermobil Tesla putih yang bakal bebasin aku dari jerat kegilaan keluarga ini.

"Perempuan Dajjal nggak tahu diri! Mati kamu! Mati kamu!" jerit ibu jambul gunung semeru sambil mendorong bahu Bu Adem Sari.

"Kamu yang perempuan jahanam. Istri nggak berguna. Kamu yang mati aja! Mati sana!" lawan Bu Adem Sari dalam pose yang sama dengan ibu jambul.

Aku menggaruk leher karena bingung bagaimana menyela mereka. Sahutan mati, dajjal, dan jahanam terus dilantunkan, sementara kedua tangan mereka seperti mengunci karena sama-sama memegang bahu lawan.

"Permisi." Aku memutuskan bersikap sopan.

"Apa?!" bentak Ibu jambul semeru.

"Ngapain kamu, Shella?!" Bu Adem Sari melotot.

Aku menciut. Namun aku harus menghentikan ini supaya bisa berangkat kerja dengan tenang. Jadi yang aku lakukan adalah mendorong mereka berdua. Alhasil mereka terpisah. Aku terkesima sesaat sebelum sadar kemarahan mereka beralih padaku. Buru-buru aku merentangkan tangan ke depan sebagai penghalang kalau mereka mau menyerangku bersamaan.

"Maaf, aku terpaksa dorong kalian supaya kita bisa bicara," kataku jujur.

"Bicara apa? Nggak ada yang perlu dibicarakan sama perempuan sialan ini." Ibu jambul semeru menunjuk Bu Adem Sari dengan amarah.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang