25

1.1K 159 44
                                    

Kenapa mesti si bangsul sih?

Aku meliriknya. Dia masih tampil menawan, berpakaian necis, dan wangi. Kayaknya setelah dia puas mencak-mencak tempo hari, hidupnya tetap berjalan baik-baik saja. Cuma aku yang meradang akibat peristiwa tersebut. Aku DOANG yang tertimpa musibah bertubi-tubi hari itu? Apa ini keadilan hidup?

Aku kembali memandang langit kota yang jauh dari kata indah. Katanya, menenangkan melihat langit sore hari dari atas gedung. Bohong tuh. Aku malah mual. Perutku kayak diaduk-aduk pakai mixer putaran tinggi. Aku tahu sih penyebabnya bukan di pemandangan, melainkan manusia setengah kecoa di sebelahku. Kalau bukan dia yang menemani, aku mungkin bisa menikmati arsiran jingga kemerahan pada langit.

"Biasanya lo dikasih gope buat ngapain ama bos lo?" Si bangsat ngomong lagi.

Setelah aku skatmat dia dengan tugas Roro Jonggrang, ternyata dia masih muka badak buat ngajak bicara kembali. Aku menarik napas. Capek banget sama orang ini. Apa dia segitu nggak pekanya buat sadar GUE BENCI LO JADI LO CEPAT ENYAH DARI SINI DEH.

"Tergantung. Kadang bantuin atas, kadang bantuin bawah." Aku mengingat kebaikan pertama Louis. Aku girang banget menerima uang jajan cuma-cuma. Ternyata kata 'cuma-cuma' itu adanya di kepala aku saja. Louis, dari ruang kerjanya, meneleponku untuk jadi perbantuan di ruangannya. Dia menyuruhku membereskan berkas-berkas berantakan di meja karena ulahnya. Dalihnya sih kalau meminta tolong OB bisa-bisa berkasnya jadi dirapikan tanpa aturan di lemari file. Kalau aku, dia yakin aku bisa membereskannya sesuai pengaturan yang dia mau. Terus uang jajan kedua membuatku disuruh Louis bantu Pak Tarjo untuk stok barang-barang yang masuk. Pesanan barang masuk membludak untuk memenuhi kebutuhan produksi. Pak Tarjo yang biasanya dibantu Om Har kewalahan memeriksa semua barang masuk sehingga Louis menambahkan aku dalam formasi. Aku yang dasarnya senang kerja bareng prajurit perang di bengkel tentu senang disuruh memeriksa barang. Setelahnya yang bikin aku menyesal. Badanku pegal-pegal karena sering berjongkok dan membungkuk.

"Bantuin ... atas bawah?" Si Ganta bangsat mendadak ketakutan. Wajahnya berubah pucat. "I-itu gimana?"

Aku heran sama tampang Ganta. Dia kayak nggak mengerti dunia kerja. Mengaku pengusaha, dengar jawabanku syok begitu. Pasti dia jarang turun tangan membantu bawahannya. Aku yakin selama ini ada orang yang menjadi kepanjangan tangannya mengatur semua bisnisnya supaya dia bisa leha-leha. "Gimana lagi? Ya bantuin aja. Kalo nggak dibantuin, kasihan. Nggak kelar dong."

Ganta bangsat mendenguskan tawa getir. Aku tahu dari awal cowok ini rada kurang lempeng otaknya. Melihatnya di sini, ketawa kayak seisi bumi runtuh di depan mukanya, aku semakin yakin dia memang konslet di bagian kepala.

"Bantuin begitu, lo mau dibayar cuma gope?"

"Uang segitu, banyak buat saya, Pak." Aku melengos. Malas melihatnya yang sekarang mendadak membara. Cowok ini benar-benar punya masalah dengan pengendalian emosinya.

"Gue bayar sepuluh kali lipat, bantuin gue juga." Ganta berdiri. Tekad di wajahnya terpampang jelas. Bahkan aku bisa melihat latar belakangnya dipenuhi api yang bergelora.

Ngeri banget cowok ini.

"Saya nggak mau," tolakku.

"Gue mau bayar lo sepuluh kali lipat, lo tolak?!"

Mengingat isi kepala si bangsul kebanyakan adalah keajaiban dan sihir ibu peri, aku harus antisipasi. Bisa saja dia menawarkan aku lima juta untuk memuaskan kegilaannya yang lain, misalnya dia minta dibuatkan mall yang bisa mengalahkan ukuran Pakuwon Mall. Bisa modyar aku.

"Oke, gue tambah. Gue bayar lo sepuluh juta." Ganta mengangkat dagunya dengan pongah.

Aku mendesah. Cowok ini aneh. "Saya nggak bisa bantuin Pak Ganta." Dilihat dari mana pun, aku dan si bangsul nggak bekerja di bidang yang sama. Pengalaman kerjaku pun sebatas kerja di perusahaan pembuatan furnitur.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang