Bab 35
Langit biru. Awan putih. Matahari bersinar cerah. Itu adalah deskripsi yang nggak cocok sama Jakarta di hari kerja pada pagi hari. Yang ada, aku mendapati langit kelabu dengan awan yang belum pernah terkena Vanish. Matahari? Beuh, nggak nampak. Tertutup sama gedung pencakar langit yang sedang dibangun. Realita ini berkebalikan banget sama kebanyakan novel percintaan remaja yang mengawali kisah dengan 'Aku terbangun di pagi hari. Langit biru menyambutku dengan awan putih berarak di sekitar matahari yang bersinar cemerlang. As if matahari say hello sama aku. My mood bagus banget.'
Mood dengkulmu!
Aku mengembuskan napas penuh nestapa. Suara pekik mbak-mbak di sebelahku bersaing dengan bunyi klakson di luar angkot yang kami tumpangi. Aku bangun terlambat dan terpaksa naik angkot daripada menunggu Jaklingko yang nggak tahu kapan hilalnya. Ternyata aku berjodoh sama abang angkot yang punya mimpi jadi pembalas F1 kayak Lewis Hamilton. Sayangnya, takdir dia itu sama mobil carry, bukannya Ferrari. Dari tadi, dia menyalip sana-sini menembus kemacetan. Buahnya tentu saja klakson pengendara lain dan panggilan 'Anjinks' serta 'BangZat'. Di dalam angkot yang terisi lima orang penumpang, suasana sama mencekamnya. Terima kasih pada mbak di sebelahku yang terus istigfar. Aku jadi diingatkan akan pentingnya selalu mengingat Tuhan di setiap waktu.
Dua puluh menit dalam angkot, aku merasa perlu mengalungkan medali atas kehebatanku nggak memaki si abang dan bertahan sampai tujuan. Habis gimana ya, bebs. Mau turun, susah dapat angkotnya lagi. Beralih ke ojek, pesannya saja sudah memakan waktu, belum terhitung waktu menunggu. Yah, aku alasan saja sih. Aku sedang malas naik ojek. Terakhir naik ojek itu semalam. Aku dapat abang ojek yang mengerem mendadak melulu. Tahu kan, modus biar yang dibonceng nabrak yang di depan. Iiih, malesin banget.
Naik taksi atau taksi online?
Duh, sini deh. Lihat jalanan di depan kantorku. Padat banget. Aku bisa sampai cepat karena si abang angkot saja yang rada-rada. Kalau bukan dia, aku belum pasti sudah sampai di sini sekarang.
"Baru nyampe, Nduk?" Pak Tarjo menyapaku saat aku sedang absen di mesin.
"Iya, Pak. Telat bangun." Aku tersenyum setengah hati.
"Nduk, kamu bentar lagi jadi keluarga bos." Pak Tarjo berbisik.
Aku membelalak. "Maksudnya?"
"Adikmu, si Tita, dia pacaran sama Pak Gerry."
Aku melongo. Bakal lebih mudah mempercayai Kali Ciliwung disebut sungai terbersih di dunia daripada mendengar kabar yang satu ini. "Bohong," tuduhku.
"Nggak. Bapak tahu dari Intan. Nanti kamu lihat deh. Katanya, udah opisyal. Apaan sih opisyal?"
Aku menggeleng. "Aku ke Mbak Intan dulu. Pak Tarjo mau ke mana?"
"Ke bengkel lah."
Kami berpisah. Aku meluncur ke meja Mbak Intan. Pas banget dia sedang ada di mejanya. Aku berjongkok di belakang kursinya, dengan begini aku tertutupi meja dan kubikelnya saat bergosip. "Mbak, kata Pak Tarjo, Tita dan Pak Gerry pacaran. Benar?"
Mbak Intan berhenti mengaduk the di gelasnya. Dia memutar kursi ergonomis menghadapku. "Kamu nggak lihat status Pak Gerry semalam?"
"Status apaan?"
Mbak Intan menunjukkan ponselnya. Aku melotot. Status WhatsApp Pak Gerry memamerkan kebersamaannya dan Tita dengan caption official. Di foto itu, Tita duduk di sisi Pak Gerry sambil melingkarkan kedua lengannya pada lengan kiri Pak Gerry.
"Gimana bisa pacaran?" Aku sangsi.
"Pacaran," sahut Mbak Intan tegas.
"Mbak tahu dari mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Love
RomanceKesalahan terbesar Shella tahun ini adalah maksain peruntungan buat balas dendam. Alih-alih balas dendam, dia malah kehilangan keperawanan. Mau kesal, tapi kok keenakan? *** Ganta tahu masalah setiap cowok adalah memastikan jamur mereka nggak salah...