29

838 118 8
                                    

Bab 29

Hotel 99 ribu lagi.

Aku menatap langit-langit kamar hotel. Semalam aku kembali menjadi penghuni hotel murah meriah yang ramai di tengah malam. Tidurku cukup pulas. Mungkin aku sudah beradaptasi dengan situasi kayak gini.

Setelah bangun tidur, mandi, dan beres-beres sedikit, aku kembali rebahan di kasur sembari memikirkan masa depanku. Aku nggak mungkin menginap di lagi di hotel ini. Tinggal bareng Bayan terlalu berlebihan. Ngekos adalah solusi paling oke. Aku ingin kamar kos yang sebelas dua belas dengan kamar apartemen. Di dekat lingkungan kantor pasti ada kos elit.

Aku menggapai ponsel yang ada di dekat kepala. Aku perlu mencari tempat kos yang sesuai. Sebelum sempat menekan ikon gugel, dering panggilan WhatsApp menghalangi.

Panggilan masuk dari Tita.

Ada apa nih?

Apa mungkin Bu Adem Sari mau minta maaf?

Aku buru-buru bangkit. Tarik napas. Dehem-dehem dikit. Rapikan rambut. Kemudian menerima panggilan tersebut.

"Halo," sapaku sok cuek.

"Kak, cepetan pulang."

"Hm, kenapa?" Aku mempertahankan gaya bodo amat, padahal hati jedag jedug menantikan permohonan maaf keluarga.

"Ibu disatronin orang-orang nih."

"Hah? Kok bisa?" Lenyap sudah rencana jual mahalku.

"Gede-gede banget kayak preman."

"Tunggu. Aku ke sana. Kamu panggil Pak RT kalo ada apa-apa." Aku menyambar barang-barangku dan menyemplungkannya ke dalam tas.

Tita mematikan panggilannya terlebih dahulu.

Aku segera memesan ojek online untuk pulang. Sembari menunggu ojeknya datang, aku merapikan barang-barangku yang lain ke tas eco.

&&&

Aku tiba di rumah sangat terlambat. Aku melihat beberapa tetangga dan Pak RT meninggalkan rumah. Suasana pekarangan rumah sudah berantakan. Pot tanaman rusak, tanah berserakan di mana-mana. Aku membetulkan letak kursi di teras yang terbalik. Suara isak tangis dari dalam rumah membuatku mempercepat langkah masuk.

Bu Adem Sari sedang duduk di lantai. Dia menangis tersedu-sedu. Di sebelahnya ada Tita yang menawarkan air putih.

"Ma, kenapa?" Aku meletakan barang-barangku di sofa, lalu ikut duduk di lantai di sebelah ibuku.

"Shella." Bu Adem Sari memelukku.

Aku mengelus bahu ibu yang gemetar oleh tangisannya. Pandanganku beralih pada Tita, meminta penjelasan. Tita hanya menggeleng.

"Ma, jelasin ke aku. Kenapa rumah berantakan kayak gini?" Aku melepaskan pelukan Bu Adem Sari.

"Mama pinjam uang, tapi dua bulan ini belum setoran. Mereka datang buat nagih sambil marah-marah."

"Mama pinjam uang ke mana?"

"Pak Bondan."

"Mama!" Aku menarik napas. Mendadak aku kehabisan oksigen. Ulah Bu Adem Sari kelewatan banget. Semua orang di lingkungan ini kenal Pak Bondan. Dia itu lintah darat. Pinjam uang ke dia memang mudah, tapi bunganya gila banget. Bisa sampai 40% kalau situasi kita kepepet. Kalau telat bayar, premannya yang datang. Sudah banyak orang yang terlilit hutang ke dia sampai usahanya bangkrut dan terpaksa sertifikat rumahnya ditarik Pak Bondan. Orang-orang nggak bisa melawan karena sebelum meminjam, mereka menandatangani kontrak yang legal.

"Mama tahu Mama salah. Nggak usah nyalahin terus. Mama tahu!" Bu Adem Sari marah.

Aku menggeleng. Siapa yang bermasalah, dia yang lebih marah. Aku menyambar gelas di tangan Tita. Nggak pakai a i u, aku habiskan isinya. Air putih membuat kepalaku lebih dingin dan bisa berpikir.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang