27

1.2K 173 9
                                    

Pulang.

Ternyata satu kata itu bisa jadi momok buat pagiku. Setelah berpisah dengan Ganta yang ternyata nggak bangsul- bangsul banget, aku terdampar di pinggir jalan. Duduk sendirian di halte, aku menatap jalanan yang sudah ramai dilalui beragam kendaraan. Aku nggak punya tujuan. Aksi minggat dari rumah masih berlangsung. Gengsi dong kalau pulang setelah berkeras mau menuntut Bu Adem Sari minta maaf dan memohon aku pulang ke rumah. Ingat moto pemadam kebakaran, pantang pulang sebelum padam. Aku pun pantang pulang sebelum dijemput pulang. Pokoknya nggak mau pulang kalau belum dibaik-baikin ibuku.

Dalam kebimbangan mencari tempat tinggal, perutku berbunyi krucuk krucuk. Aku benar-benar jauh dari gambaran cewek-cewek masa kini yang stres jadi nggak nafsu makan dan tahu-tahu sudah turun sepuluh kilo. Boro-boro sepuluh kilo, satu ons saja timbanganku nggak berkurang. Masih stuck di angka besar itu.

Belum usai perkara mau tinggal di mana, aku diterjang dilema mau sarapan apa. Aku melirik gedung hotel yang semalam aku tempati. Aku bisa saja masuk ke dalam lalu memesan sarapan. Pemborosan itu bisa aku namakan self reward supaya nggak sakit hati banget sama harga makanannya.

"Aku kan punya duit dari Ganta," gumamku riang. Aku baru teringat transferan Ganta. Seratus juta bukan uang kecil. Buat sarapan seharga tiga ratus ribu tentu bukan masalah. Tinggal bayar aja. Toh sisanya masih sembilan puluh sembilan juta tujuh ratus ribu. Mantap, bosque! Ternyata gini cara berpikir wong tajir.

Dering ponsel menyentakku yang sedang ngakak sendirian. Aku mengambil benda itu dari dalam tas. panggilan dari Bayan.

"Halo, kenapa, Yan?"

"Sudah sarapan, Kak? Aku lagi di depan hotel 99K nih. Mau sarapan bareng?"

"Aku udah nggak di situ lagi dong." Aku menyibak rambut dengan pongah. Sesekali mau pamer baru menginap di hotel bintang lima.

"Kakak pulang ke rumah?" tebaknya.

"Bukan. Aku nginap di hotel [Mbeeek] semalam."

"Beneran?!"

Aku bisa membayangkan Bayan terkejut. Gimana ya, dilihat sekali juga orang bisa tahu kalau aku itu bukan dari kalangan berpunya. Punya duit, maksudnya. Kalau punya lemak, aku banyak nih. Sayangnya lemakku nggak bisa dihitung sebagai kekayaan materiil. Cuma bisa dikategorikan keserakahan terhadap porsi makan yang menyebabkan penumpukan kalori dalam lemak tubuh seseorang yang jarang berolahraga.

"Bener dong. Gimana kalo kita makan bubur ayam di dekat pasar. Yang waktu itu loh. Rasanya enak."

"Boleh. Aku jemput Kakak ya."

"Nggak usah. Ketemuan di sana aja. Aku ngojek dari sini."

Bayan menyetujuinya. Panggilan pun berakhir. Aku tersenyum puas. Pagi ini benar-benar menandakan permulaan hari yang baik. Lihat saja, aku dan Ganta sudah punya hubungan yang baik. Aku dan Bayan masih berteman. Dan cuaca, hmmm, agak mendung. Tapi bukan berarti cuaca mendung pertanda buruk. Ya, kan?

.

.

.

Aku salah!

Mendung itu pertanda turun hujan.

"Pakai ini."

"Makas-HATCHIIM!" Handuk yang diberikan Bayan aku gunakan untuk menutup wajah.

"Mending Kakak ganti baju. Aku punya ini." Bayan mengeluarkan kaos dari dalam tasnya. Tasnya sudah menyerupai kantong doraemon. Apa saja keluar dari situ. Barusan handuk, sebelumnya tisu, dan sekarang kaos. Sosoknya yang begini benar-benar well prepared.

"Emangnya muat?" Aku meragu. Badan Bayan itu setengah ukuran badanku. Tingginya saja yang jauh di melebihiku. Aku bahkan menduga dia bakal melayang kalau ada embusan angin.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang