Aku menyusuri jalan menuju rumah. Sudah pukul delapan malam dan suasana gang masih cukup ramai. Warkop dijejali pria dari berbagai generasi. Mereka seru menonton pertandingan bola. Di seberangnya, warung Madura yang terkenal pantang tutup sampai kiamat sedang menata tumpukan tabung melon. Bunyi osengan kang nasi goreng dan deru knalpot motor bebek Babe Usman memeriahkan lingkungan. Aku melambai saat Babe Usman menyapa dengan menyebut namaku. Mulutku terlalu letih untuk menyuarakan jawaban. Inginku hanyalah merebahkan badan. Namun mataku terpikat pada jam tangan kang nasi goreng yang luar biasa kinclong. Aku menduga pendapatan pedagang nasi goreng keliling lumayan besar sampai sanggup membeli barang mewah. Bagaimana kalau barang itu imitasi? Ah, apa peduliku.
Tidur! Tidur! Aku butuh tidur!
"Kamu mau ke mana?" Aku heran menemukan Tita berdandan rapi. Bulu mata cetar jelas bukan riasan untuk beli beras di warung Madura.
"Terserah aku mau pergi ke mana." Tita manyun, lalu menoleh ke dalam rumah dan berseru, "Mah, Kakak udah pulang nih."
Meski keheranan, aku tetap menyingkir supaya Tita bisa keluar rumah. Sikapnya selama ini memang nyebelin, tapi yang barusan lebih menyebalkannya. Aku memandanginya yang buru-buru pergi. Kemudian masuk karena nggak menemukan alasan Tita beraksi nyebelin.
"Shella, kamu dari mana aja?" Bu Adem Sari bertanya sambil duduk di meja makan saat aku hampir masuk kamar.
Aku memutar tumit. Melihat ekspresi Bu Adem Sari yang nggak ada adem-ademnya, instingku membisikan "Siaga, bebs!" Biasanya instingku benar kalau berkaitan Bu Adem Sari. Aku menarik napas panjang sembari mengingat pentingnya berbakti pada orang tua satu-satunya yang masih hidup.
"Aku habis dari pameran, Ma." Aku nggak memberikan penjelasan setelah Bu Adem Sari menggeleng nggak peduli.
"Kamu ngapain di pameran seharian? Harusnya kamu di kantor dan bantu Tita. Kasihan adik kamu tuh. Dia dimarahi atasan padahal dia masih anak baru, masih belajar. Rekan kerjanya nggak bantuin lagi. Siapa itu tadi? Intan kalo nggak salah. Duh, Shell, kamu sebagai kakak harusnya jagain adik kamu yang bener."
"Gimana aku bisa milih-milih kerjaan, Ma? Aku ke pameran karena ditugasin ke sana sama atasan," aku membela diri.
"Kata Tita, admin nggak perlu keluar kantor. Kamu harusnya nolak. Ngapain ngerjain yang bukan kerjaan kamu?"
"Kenapa aku harus nolak? Tugasku itu bantu kerjaan Louis, wajar aku ngikut. Aku bantu divisi aku."
"Kamu kebanyakan alasan. Bilang aja kamu begini karena nggak suka Tita kerja satu kantor sama kamu. Apa sih masalah kamu? Sudah bagus Tita mau kerja, kamu malah bertingkah kayak gini?"
"Aku nggak bertingkah!" aku menjerit. Kekesalanku mendidih. Jika ada yang perlu disalahkan di sini, itu adalah Tita. Dia yang memilih pekerjaan ini. Ketika dia kesulitan, kenapa membebani orang lain dari ketidakmampuannya.
"Kamu berani ngejawab?" Mama bangkit dengan wajah murka.
Semua keluhan berkumpul di ujung lidah. Aku bisa menumpahkan semuanya dan menjadikan ini pertengkaran tanpa ujung. Namun pengalaman mengajarkanku untuk berhenti di sini. Aku sudah beberapa kali beradu argumen dengan ibuku sendiri. Ketika aku pikir perdebatan kami usai, esok mama akan mengunci mulutnya. Aku muak dengan silent treatment ibuku sebab pada akhirnya dia hanya mendesakku untuk mengaku bersalah. Kalau semua masalah diselesaikan dengan aksi semacam ini, aku lebih memilih mundur duluan. Aku biarkan Bu Adem Sari mengibarkan bendera kemenangan. Biar saja dia puas, yang penting aku nggak perlu repot mengurus masalah emosinya.
"Mama maunya apa?" Aku sepenuhnya mengalah.
"Kamu bantu Tita. Apa kamu nggak kasihan sama adikmu?" Bu Adem Sari masih menarik urat saat bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Love
RomanceKesalahan terbesar Shella tahun ini adalah maksain peruntungan buat balas dendam. Alih-alih balas dendam, dia malah kehilangan keperawanan. Mau kesal, tapi kok keenakan? *** Ganta tahu masalah setiap cowok adalah memastikan jamur mereka nggak salah...