43

939 167 5
                                    

Kepalaku luar biasa pening setelah tidur sebentar di sofa. Rasanya seperti kena getok palu. Tumben banget aku sakit setelah tidur siang. Suasana rumah sepi. Aku memandang sekeliling sebelum sadar bahwa aku sendirian di sini. Ibu mungkin keluar rumah saat aku tidur dan Tita belum pulang kerja. Hari ini aku kembali cuti. Keterangan absennya aku hari ini memang cuti lagi, tetapi nggak sepenuhnya cuti setelah Pak Gerry mendadak meneleponku jam sepuluh pagi sambil memohon supaya aku tetap bekerja dari rumah. Realita banget bekerja di perusahaan kecil yang sengaja mengecilkan jumlah pekerja demi memangkas biaya operasional. Cuti saja masih digempur pekerjaan. Katanya, pengaturan semacam ini dibuat oleh Pak Gerry begitu menggantikan bapake. Heran deh sama atasan yang demen mengirit jumlah karyawan tapi rajin menambah pekerjaan. Masih untung di kantor ini turn over karyawannya rendah.

Aku melirik jam dinding. Pukul satu siang. Kalau di kantor, aku pasti sudah kembali menyalakan komputer. Kalau di rumah, aku mau sedikit bersantai dalam bekerja. Aku memang mengiyakan bekerja dari rumah, tapi aku nggak bakal bekerja sepenuh hati. Jatah istirahatku nggak boleh terpotong. Toh, jatah cutiku sudah diambil. Di sisi lain, aku kepikiran Louis. Apa manusia itu masih baik-baik saja selama aku absen dua hari? Mudah-mudahan Pak Gerry menjalankan amanatku untuk memastikan Louis makan sesuatu. Kita nggak mungkin membiarkan Shin Tae Yong kelaparan saat sedang pertandingan meskipun bukan dia yang merumput di lapangan, iye dong? Kayak gitu pula kondisi Louis. Dia itu mastermind di perusahaan dan posisinya nggak bisa di-back up sembarangan orang. Sebenarnya sih nggak ada yang bisa menggantikan Louis wong cuma dia doang yang desainer interior di perusahaan.

Suara panggilan dari luar menyurutkan pikiranku dari pekerjaan. Aku penasaran siapa yang datang ke rumah jam segini. Semoga bukan kurir COD. Aku nggak punya masalah sama kurirnya. Aku bermasalah dengan COD-nya. Tita yang biasa belanja COD. Setiap dia COD, pasti Bu Adem Sari dan aku yang kelimpungan buat membayarnya. Aku antisipasi dengan mengambil dompet di kamar sebelum keluar.

"Bayan?" Aku terkejut mendapati Bayan datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Yang lebih mengejutkan adalah sosok di belakangnya. Mas Asep slash papanya Bayan.

"Kami boleh masuk, Kak?" tanya Bayan.

"Boleh, boleh." Aku segera membukakan gerbang.

"Tapi mama nggak ada di rumah, Pak." Aku bicara ke Pak Asep.

"Saya bukan mau ketemu Bu Sari. Saya ke sini memang mau ketemu sama Nak Shella."

"Oh gitu." Aku bingung dengan alasan papanya Bayan mau menemuiku. Apa ini berkaitan dengan Ganta?

Aku mempersilakan mereka duduk di ruang tamu dan menawarkan minum. Bayan dan papanya kompak menolak. Karena aku nggak bisa membiarkan kedua tamu kehausan, aku menawarkan air mineral dalam kemasan 300 mili yang ada di atas meja. Air kemasan itu memang selalu tersedia di meja setelah Bu Adem Sari belanja di toko grosir. Dia membeli lima dus air sekaligus karena harganya lebih murah dari beli satu dus. Aku cuma bisa senyum saja melihat keajaiban lain mamaku. Jelas-jelas kami jarang kedatangan tamu karena tetangga menandai keluarga kami sebagai trouble maker. Kalau mereka punya kepentingan dengan kami, pasti hanya bicara di depan gerbang saja. Bahkan kalau bisa lewat WhatsApp. Segitunya kami memang dijauhi karena ulah Bu Adem Sari yang pantang melewatkan hari tanpa menimbulkan huru-hara.

"Gini, Nak, Bapak yang minta Bayan temani ke sini karena mau bicara sama kamu," Pak Asep bicara duluan setelah aku duduk di kursi tunggal.

"Ada apa ya, Pak?" Aku antisipasi kabar buruk. Tampang Pak Asep yang tenang nggak bisa menutupi wajah waswas Bayan yang duduk di sebelahnya.

"Sebelumnya, Bapak boleh tahu hubungan Nak Shella sama Ganta?"

Duh, awalannya sudah berasa diintrogasi. "Ganta itu klien di kantor. Kami kenal karena urusan pekerjaan."

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang