41

949 173 16
                                    

Bunyi deru kendaraan menyambutku saat aku turun dari taksi. Tatapanku berkelana pada jalanan yang ramai oleh sebuah ambulans dan beberapa mobil pribadi. Rombongan kendaraan itu bergerak meninggalkan area pemakaman. Aku teringat pada situasi serupa lima tahun silam. Aku meninggalkan pemakaman ini bersama rombongan pelayat setelah memakamkan bapak.

Aku memutar tumit dan melangkah masuk pemakaman. Hanya ada beberapa peziarah. Karena hari ini adalah hari kerja, wajar jika nggak banyak yang datang. Aku sendiri ke sini setelah Bu Adem Sari meninggalkan rumah. Dia pergi terburu-buru setelah menerima telepon dari seseorang. Aku pusing berada di rumah, tapi nggak punya tujuan, selain tempat ini. Aku tiba-tiba merindukan bapak.

Pusara bapak bersih. Aku mengelus nisannya perlahan seakan rinduku bisa tersampaikan pada si pemilik makam.

"Pak, mama selama ini nyari pelaku yang nabrak bapak. Dia terus nyari. Semalam dia ketemu orang itu. Bapak tahu, orang itu ternyata deket banget. Orang itu namanya Ganta. Dia klien di kantor. Iya, kantor bapak dulu kerja." Aku tersenyum pilu mengingat dulu bapakku pernah bekerja di sana, lalu aku melamar kerja di sana untuk bisa mengumpulkan kenangan-kenangan bapakku. Bapak bekerja bersama Pak Tarjo sebagai pengrajin furnitur. Keahlian bapak sangat bagus dalam ukiran, terutama pembuatan ukiran khas Jawa dan Bali. Dulu, perusahaan menerima orderan furnitur klasik Jawa dan Bali. Semenjak bapakku meninggal, orderan semacam itu ditolak oleh Pak Haryono, bapaknya Pak Gerry. Menurut Pak Haryono, pengrajin yang lain belum bisa mencapai kualitas seperti bapakku. Pak Tarjo yang menceritakannya dan aku percaya bapakku memang sangat berbakat. Sayang bakatnya nggak bisa lagi eksis di dunia ini.

"Mama ketemu sama Pak Asep. Dia yang bantu mama nyari Ganta. Aku syok banget pas mama mukulin Ganta semalam. Mama teriak nuduh Ganta pembunuh. Aku takut sama kata itu. Semalam aku susah tidur. Aku ngerasa serba salah, Pak. Aku nerima uang dari Ganta. Terus uangnya aku pake buat bayar hutang rumah kita. Tadi pagi, mama udah bertekad mau bikin pembalasan ke Ganta. Gimana kalo mama tahu soal uang Ganta?"

Aku terus menceritakan perasaanku. Di sela ceritaku, angin berembus pelan memainkan anak rambut ke pipi. Aku menangkap anak rambut itu, lantas tersadar pipiku telah basah.

Kenapa aku harus mengalami semua ini dalam satu hari?

Aku meringkuk di depan makam, menenggelamkan wajahku di antara kedua lutut sembari memeluk betisku sendiri. Aku takut. Aku sedih. Aku berharap semua ini mimpi.

"Shella?"

Aku mengangkat kepala. Pandanganku agak buram akibat air mata. Aku menyeka mataku menggunakan punggung tangan. Kemudian mendongak. Sinar matahari di belakang kepala orang itu menghalangi pandanganku. Aku memicing. Orang itu menundukkan kepalanya. Saat itu aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ganta.

Aku termangu, gabungan antara kaget dan takut.

Ganta mundur selangkah. "Maaf. Kayaknya gue ganggu waktu lo," katanya agak lirih.

"Itu..." Aku ingin bertanya. Namun aku takut mendengar jawabannya. Aku takut bahwa perkataan Bu Adem Sari benar. Aku takut telah berteman dengan pembunuh bapakku sendiri.

"Gue minta maaf." Ganta menatap ke sepatunya.

Aku berdiri. Berdiri berhadapan dengan Ganta setelah apa yang terjadi semalam memberiku pandangan yang benar-benar berbeda. Aku nggak mengenalnya, bahkan setelah kami menghabiskan waktu-waktu yang menyenangkan.

"Lo beneran..." pembunuh? Kata terakhir itu tertelan kembali. Aku nggak sanggup bertanya.

Ganta menggigit bibir bawahnya dengan mata masih menghindariku. Aku menyerah untuk bertanya. Mungkin dia sama denganku. Mungkin dia pun takut dengan kenyataan yang terbentang di antara kami. Aku memutuskan untuk pergi. Nggak ada yang bisa kami bicarakan di sini.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang