"Mau diturunkan di gang ini, Non?"
Aku mengangguk lesu. Pak sopir menatapku dari spion tengah dengan raut khawatir. Aku paksakan tersenyum saat berujar, "Makasih, Pak."
"Mau saya antar sampai rumah?" Pak sopir menawarkan.
"Nggak usah. Rumah saya dekat dari sini." Aku turun sebelum pak sopir menawarkan bantuan lain.
Aku bukannya nggak menghargai perhatian bapak itu, tetapi aku sedang ingin sendiri. Sudah cukup bantuan yang aku terima dari mengantarku sampai sini. Toh, jarak rumahku dari gang nggak seberapa. Sudah belasan tahun aku lewat jalan ini, sambil merem pun aku bisa tiba di rumah. Di sisi lain, aku nggak nyaman bersama pak sopir. Bagaimanapun dia itu sopirnya Ganta. Pria itu mungkin menunggu sopirnya menjemput.
Aku menyusuri jalan yang ramai seperti biasa berkebalikan suasana hatiku yang berduka. Badanku masih menggigil teringat pertemuan mencekam dan ancaman ratu iblis. Kenangan semasa sekolah membanjiri pikiran. Aku takut segalanya akan kembali berantakan. Aku takut harus mengulang sakitnya dilecehkan. Aku takut bakal menerima luka fisik lagi.
Sepasang kaki berlapis sepatu converse dan celana jins menghadang. Aku berhenti, lantas mendongak. Bayan tersenyum sedetik sebelum luntur perlahan berganti tatapan cemas.
"Kakak abis nangis?" Dia mendekat. Kedua tangannya merangkum wajahku. Kedua jempolnya mengusap pipiku.
Aku menggeleng. Kemudian mengangguk. Menggeleng lagi. Menggangguk lagi.
Bayan tertawa kecil. Dia memindahkan kedua tangannya ke bahuku. "Mau minum kopi?"
"Nggak suka kopi," balasku.
"Aku minum kopi. Kakak minum susu. Gimana?"
"Aku minum jus," negoku.
"Sip, Kakak cantik." Bayan merangkul bahuku. Dia juga menarik tasku untuk diambil alih dan dipikul ke bahunya.
"Kamu ngapain ke sini?" Aku bertanya di sela perjalanan kami menuju arah yang berkebalikan rumahku.
"Kangen sama Kakak."
Aku menyikut pinggangnya ringan. "Ngaku aja takut di rumah peninggalan kakek kamu sendirian."
Bayan menyengir. "Takut di rumah sendirian nggak semenakutkan nggak ketemu Kakak seharian," sahutnya.
Aku memutar bola mata ke atas. Bibirku menahan senyum geli. Bisa banget bocah ini menggombal. Aku menduga dia punya antrian panjang mantan.
"Kita di sini. Gimana?" Bayan menunjuk kafe sederhana yang ada di pinggir jalan, nggak jauh dari gang rumahku.
Aku baru tahu ada kafe semacam ini di sekitar rumah. "Boleh. Tapi aku nggak mau makan. Aku mau minum aja," aku memberitahu.
Bayan membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk duluan. Aku mengamati interior kafe. Seperti tampak luar, penampilan di dalamnya pun sama sederhana dengan kursi kayu dan meja kayu.
"Kakak pilih tempat duduk. Aku yang pesan."
"Bentar." Aku buru-buru merogoh tasku yang ada di Bayan.
Bayan menahan tanganku. "Aku yang bayar."
"Anak kecil nggak usah sok traktir tante ya," candaku.
"Tante silakan cari tempat duduk, biar anak kecil banyak duit ini yang pesan dan bayar di kasir." Bayan menyentak tasku, lalu memeluknya sehingga aku nggak bisa mengambil dompet.
Aku mengalah. Ada beberapa pengunjung di sini. Aku nggak mau menarik perhatian orang lain karena kami meributkan siapa yang membayar.
Ada meja di bagian ujung dekat jendela. Tumben banget ada meja yang letaknya bisa mengakses pemandangan di luar malah nggak ada yang menempati. Saat aku duduk di situ, aku sadar mengapa pengunjung lain lebih memilih meja bagian tengah kafe. Kebanyakan dari mereka duduk di sana supaya dekat dengan TV layar datar ukuran super besar yang menayangkan pertandingan bulu tangkis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Love
RomanceKesalahan terbesar Shella tahun ini adalah maksain peruntungan buat balas dendam. Alih-alih balas dendam, dia malah kehilangan keperawanan. Mau kesal, tapi kok keenakan? *** Ganta tahu masalah setiap cowok adalah memastikan jamur mereka nggak salah...