51

807 176 22
                                    

Gelanyar ngeri menerjang sekujur badan. Aku takut mengakuinya. Mama belum tentu bisa terima jawabanku. Namun yang paling aku takutkan adalah kekecewaannya. Aku nggak bisa berharap memutar balik waktu ke sebelum kejadian bermalam di hotel dengan Ganta. Beras udah jadi bubur gini, nggak bisa dimasak ulang jadi nasi.

"Shel..." ibu yang biasanya berbicara dalam nada tinggi mendadak bicara dalam nada rendah dan wajah resah. Biasanya ibuku suka ngegas bahkan setelah dia berbuat salah, contohnya pas dia ambil cicilan kulkas tiga pintu yang harganya bisa bikin mata salto.

"Ma, aku nggak mau bikin Mama kecewa, tapi jawaban aku bisa bikin Mama terluka." Air mataku jatuh spontan. Aku terlalu takut, malu, sedih, dan merana.

"Kasih tahu siapa orang itu. Biar Mama yang urus perasaan Mama."

Aku menatap ibuku dan mendapati tekad yang menyala dari sepasang mata rentanya. "Maaf," desisku dengan bibir bergetar akibat menahan tangis.

Ibuku menggeleng kuat. "Maaf kamu nggak dibutuhin sekarang. Siapa ayahnya? Siapa yang hamilin kamu?"

Aku menunduk. Rasa bersalah memelukku erat. "Gan ... ta," jawabku terbata.

Suasana mendadak hening. Aku takut-takut mengangkat kepala. Bu Adem Sari dan Tita saling pandang, lalu bersamaan menoleh padaku dengan wajah penuh kesangsian. Tita yang pertama bicara, "Ganta, Kak? Ganta yang itu? Ganta yang kita kenal?"

Aku mengangguk sekali susah payah.

"Gila kamu?!" Bu Adem Sari menepuk bahuku keras.

Aku mengaduh kesakitan. Tita segera menarik ibu menjauh agar aku selamat dari pukulan berikutnya. "Ma, jangan pukul Kak Shella."

"Lepas, Tita. Mama harus kasih kakak kamu tabokan biar kepake otaknya. Hamil di luar nikah udah salah. Ini malah hamil sama pembunuh itu kayak nggak ada cowok lain aja. Mau kamu apa sih? Mau lihat Mama gila sama ulah kamu? Selamat, Shel. Kamu berhasil. Kamu bikin Mama gila sama tingkahmu. Mau apa lagi abis ini, hah? Mau bikin Mama mati?"

"Maaf, Ma." Aku cuma bisa menggumamkan itu untuk menjawab amukan ibuku.

"Kamu mikir nggak akibat perbuatan kamu? Dia itu pembunuh bapakmu, Shella! Dia yang udah bikin keluarga kita kehilangan segalanya. Mama kehilangan suami. Adik kamu kehilangan bapaknya. Kamu juga tahu kamu kehilangan siapa. Nggak usah Mama bilang, kamu juga tahu sendiri. Kenapa mesti pembunuh itu, Shella?"

Aku menggeleng. Bukan mauku dihamili oleh orang yang sudah merenggut nyawa bapakku, tapi saat itu aku belum tahu siapa Ganta dalam hidup keluargaku. Andai aku tahu lebih awal, mana sudi aku tidur bersamanya.

"Ma, udah. Mama ngomel kayak gini, Kak Shella tetap udah hamil. Kita nggak bisa ubah situasinya," kata Tita. Dia masih memeluk Bu Adem Sari dari belakang dan memastikan aku aman dari jangkauan pukulannya.

"Nggak usah bela kakak kamu. Kalian sama aja. Kalian nggak paham sakitnya Mama. Dalam sehari, semua berubah. Mama kehilangan suami. Mama harus besarkan kalian berdua sendirian. Mama nggak kerja, nggak ada penghasilan, gimana Mama bisa biayai sekolah kalian. Semua orang ninggalin kita. Polisi malah nyalahin bapak kamu dan nutup kasus itu seenaknya karena kita nggak punya uang. Mama pontang-panting kerja serabutan buat biaya hidup keluarga kita. Padahal... padahal kuburan bapak kalian masih basah. Mama nggak terima orang yang udah merenggut kebahagiaan kita seenaknya menghamili anak Mama." Ibuku jatuh merosot ke lantai. Dia menutup wajahnya menggunakan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.

Tanganku terentang ingin menjangkau ibu yang menangis. Tita menggeleng. Dia memberiku kode untuk tetap duduk di kasur, sementara dia yang memeluk dan menenangkan Bu Adem Sari.

"Ma, Tita minta maaf. Tita dan Kak Shella tahu besar banget perjuangan Mama buat kami. Udah nangisnya, Ma. Mending kita ke kamar. Mama butuh istirahat," bujuk Tita.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang