Bab 31
Aku memandang makam ayah. Kondisinya masih terawat dengan baik. Pohon yang kami tanam sewaktu menguburkan ayah tumbuh dengan sehat. Daunnya rindang dan bunga-bunganya banyak. Nostalgia itu hadir. Rasanya baru kemarin ayah mengantarku ke sekolah. Dia melambai saat aku berjalan melewati gerbang sekolah. Aku tersenyum senang tanpa tahu ekspresi ayah itu bakal jadi yang terakhir yang aku lihat sebab sorenya, aku menemukan dia terbujur kaku dengan wajah pucat dan banyak luka.
Angin menggoyangkan pohon kamboja yang tumbuh dekat nisan. Ibuku merapikan selendangnya ke atas kepala. Aku menyelipkan rambut yang melayang akibat angin ke belakang telinga. Menyesakan melihat Bu Adem Sari yang biasanya berulah kini berjongkok di dekat nisan suaminya. Badannya tampak lebih kecil dan ringkih. Aku baru menyadari badannya sekecil itu, jauh lebih kecil dari sebelum ayah pergi.
Aku buru-buru mengusap ujung mata.
"Kamu kangen ayah kamu?" Bu Adem Sari bertanya tanpa menoleh. Dia mengusap nisan dengan perlahan.
Aku mengangguk, lalu tersadar ibuku belum tentu melihat gerakan kepalaku jadi aku berujar, "Iya."
"Sama. Mama juga kangen ayah." Badannya bergetar kecil. Aku bisa mendengar suaranya yang terisak. "Mama nggak bisa maafin pembunuh itu."
"Tapi polisi bilang itu kecelakaan akibat kelalaian..." Aku nggak sanggup melanjutkan kata-kataku.
Berat hatiku mengakui kematian ayahku akibat kelalaiannya. Ayah adalah orang yang paling taat lalu lintas. Dia selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, untuk patuh pada rambu dan peraturan. Katanya, jangan sampai sikap teledor kami di jalan menyebabkan anggota keluarga lain yang terkena karma. Ayah berhati-hati di jalan supaya anak dan istrinya nggak terserempet kendaraan apalagi sampai tertabrak. Mengherankannya, ayah malah disebut telah lalai berkendara.
"Itu bohong, Shel." Ibuku menoleh. Wajahnya basah oleh air mata. "Itu kebohongan. Polisi itu berbohong."
Sikapnya membuatku terkejut.
"Mama sudah nyari tahu. Semuanya bohong, Shel. Semuanya."
Aku menunduk. Aku ingin mempercayai ucapannya. Di sisi lain, aku takut mempercayainya dan lebih terluka. Melepas kepergian seseorang yang berharga dalam hidup sudah cukup sulit. Mengetahui almarhum ternyata difitnah setelah menutup mata pun sama menyakitkannya sebab aku nggak tahu bisa berbuat apa untuk memperoleh keadilan untuk ayahku.
"Ayah kamu nggak lalai. Ada buktinya. Mama punya buktinya."
"Mending kita pulang, Ma." Aku mau menyudahi pembicaraan ini.
"Bukti itu ada dan mereka nutupin itu. Mereka bikin ini jadi kesalahan ayah. Tapi Tuhan nggak tidur. Bukti itu masih ada. Bukti itu ada di tangan Mama."
Aku membelalak. "Gimana bisa?" tanyaku ragu.
"Mama cari. Mama terus cari. Mama nggak berhenti nyari." Bu Adem Sari berdiri.
Aku menatap langsung matanya dan menemukan tekad yang luar biasa membara. Ada yang telah ibuku lakukan hingga dia bisa memiliki kepercayaan diri sebesar itu. Sesuatu yang membuatku merinding.
"Ma..." Aku ingin memintanya berhenti. Entah mengapa aku merasa takut. Namun semangatnya terlalu membara hingga aku memilih menelan kembali kata-kataku.
"Mama akan bawa pelaku itu. Mama akan buat dia menerima ganjarannya," katanya dengan sungguh-sungguh.
Pagi itu, di antara embusan angin yang meniup anak rambut, aku dapat melihat untuk pertama kalinya binar kehidupan kembali menyala pada sepasang mata ibuku. Binar yang aku rindukan dari sosoknya yang dulu semasa ayah masih hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Love
RomanceKesalahan terbesar Shella tahun ini adalah maksain peruntungan buat balas dendam. Alih-alih balas dendam, dia malah kehilangan keperawanan. Mau kesal, tapi kok keenakan? *** Ganta tahu masalah setiap cowok adalah memastikan jamur mereka nggak salah...