23

956 162 10
                                    

"Muka lo kenapa?"

Aku tersenyum lesu. Energiku sedang rendah dan rasanya beraaat banget menjawab pertanyaan Louis ini padahal masih pagi.

"Lo nggak sakit, kan?"

Duh, kurang perhatian apa atasanku ini? Di saat orang lain punya bos yang bakal nanya, "Kamu sakit? Udah ke dokter? Kuat kerja? Mau cuti sakit aja?" maka aku punya Louis yang nggak pakai basa-basi busuk memastikan aku masih sanggup bekerja di bawah tekanan fisik dan mentalnya. Kurang romusha apa lagi atasanku?

"Sakit, Pak," tangkisku.

"Terus gimana nih? Mau lanjut kerja apa gimana?"

Mau lanjut kerja apa gimana? Gimana yang mana? Gimana itu multitafsir loh. Maksudnya aku diberi pilihan pulang setengah hari atau aku pulang untuk bekerja dari rumah?

"Mau ditransfer duit, Pak," gurauku. Dengan kondisiku sekarang, aku benar-benar diuji dengan eksistensi bos macam Louis. Dia peka nggak sih?

"Oh." Louis mengangguk.

Aku kembali berkutat pada layar komputer. Sebenarnya aku nggak sakit, tapi kurang sehat. Itu loh kondisi dimana badan kamu nggak menderita penyakit tertentu, tapi kurang fit akibat kurang istirahat. Ini semua bermula setelah pertengkaranku dengan Bu Adem Sari semalam. Aku yang nekat bermalam di luar dengan dalih bobo di rumah teman, yang mana aku nggak punya teman yang bisa aku jadikan tempat numpang bobo, berakhir menginap di hotel ala-ala yang per malamnya 99 ribu. Kamarnya lumayan bersih, walau ruangannya nggak bersih-bersih amat. Pokoknya ada kasur dan bantal yang sedikit wangi serta kamar mandi di dalam sudah cukup buatku. Aku sudah berpuas diri dengan kamar yang aku miliki semalam dan mau menangis sepuas-puasnya. Namun ... rencana mewek meratapi naasnya hidupku kemarin gagal total. GA-GA- TO-TAL!! Tepat pukul sepuluh malam, kamar di sebelah kiriku mendadak dipenuhi erangan dan bunyi tepuk tangan.

"Kya, kya, yamete, yamete, aaaah! Yamete, Om. Aku ditusuk! Yamete!" dan POK! POK! POK!

Disusul kamar sebelah kananku yang menyebabkan dinding bergetar dan pekikan, "Enak! Enak! Tusuk yang dalam, Papi. Tusuk Dedek yang dalam. Aaaah, enak. Yang dalam!"

Yang dalam apaan, Ogeb?!

Aku nggak bisa tidur semalaman karena tetanggaku nggak berhenti mendesah, mengerang, dan menyebabkan dinding bergetar. Seharusnya aku tahu dinding kamar hotel itu terlalu tipis. Mungkin bata yang dipakai saat pembangunan dibelah dua supaya hemat biaya.

Alhasil, aku begadang dan sesekali nangis karena iri pada cewek lain yang bisa main tancap-tancapan sementara aku terpaksa bermalam di luar rumah dan baru saja dihina cowok yang menikmati keperawananku. Pagi tadi, saat melihat bayangan diriku di cermin, aku terkejut. Auraku benar-benar seperti habis bermalam bersama kuntilanak dan pocong. Gelap banget.

Sampai di kantor pun Louis masih memberiku reaksi yang membuatku ingin jongkok di pojokan sambil meringis, "Gini amat nasib gue?"

Denting notifikasi ponsel mengalihkan perhatian. Aku memeriksanya, lantas membelalak pada SMS yang baru aku baca. Sontak aku berpaling pada sosok menjulang di sisi meja yang belum pergi sejak tadi, Louis.

"Udah masuk?" tanyanya dengan acuh tak acuh.

"Beneran ditransfer?" tanyaku antara ragu dan ngeri.

Louis mengangguk. "Kata lo minta ditransfer. Segitu cukup buat jajan, kan?"

Aku membaca ulang nominal yang dikirim Louis. Lima ratus ribu tentu saja cukup buat aku yang biasanya jajan di kantin mall alih-alih melipir ke restoran.

"Kurang buat jajan mobil, Pak," balasku dengan muka memelas.

"Cukup itu kalo lo beli hotwheels." Louis tersenyum miring sembari berjalan menjauhi mejaku.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang