45

904 170 17
                                    

"Shel, lo nggak pernah tidur sama gue, kan?"

Aku mendesah. Pertanyaan Ganta semalam masih berputar. Rasanya gila ditembak pertanyaan semacam itu persis di saat aku sedang tenggelam dalam rasa sakit mengingat bapakku. Sedihku lenyap berganti marah. Aku cuma menjawab, "Gila lo?" Kemudian hengkang dari sana. Aku sengaja nggak mau menoleh saat meninggalkan si bangsul supaya aku nggak terpengaruh pada ekspresinya. Kelemahanku yang paling nggak bisa diobati itu suka nggak tegaan. Misalnya nih, dulu banget, aku pernah terserempet sepeda. Jelas aku yang jadi korban, masih aku pula yang bantu remaja yang bawa sepeda untuk bangun setelah sepedanya oleng sehabis menyerempetku. Bu Adem Sari mengomeliku seminggu penuh karena peristiwa itu. Aku nggak mau melemah, lantas memaafkan Ganta semudah itu. Perbuatannya terhadap keluargaku itu keterlaluan.

Aku belum siap memaafkan bahkan setelah dia menceritakan apa yang telah dia lalui pasca kecelakaan. Dia menyadari kesalahannya. Dia berusaha melakukan sesuatu untuk meminta maaf pada keluargaku, meski dia salah orang.

Ganta bego banget. Bisa-bisanya dia salah mengenali orang. Dia malah bersama ratu iblis padahal aku dan keluargaku yang mestinya memperoleh permohonan maafnya. Jika dia melakukannya dengan benar, ibuku mungkin nggak akan sesakit sekarang. Bu Adem Sari mungkin nggak perlu menggenggam lukanya terlalu lama. Dia mungkin bisa sedikit berdamai dengan hidupnya. Semua gara-gara kegoblokan Ganta.

Ganta jahat.

Cowok sialan.

Penghancur keluarga gue.

"Kamu baik-baik aja?"

Pertanyaan Mbak Intan menarikku pada realita. Aku menoleh dan menemukan Mbak Intan serta Pak Gerry menatapku dengan wajah cemas.

"Kenapa?" Aku nggak paham alasan mereka melihatku begitu.

"Kamu ngetik kayak kesurupan gitu. Terus muka kamu itu loh." Mbak Intan menunjukku.

Aku mengambil cermin di laci. Jujur nih, aku bukan tipikal ciwik yang menata cermin di meja kerja. Aku lebih suka menyimpan cermin di laci. Kalau perlu, baru aku keluarkan. Di depan cermin aku menemukan wajah bulat. Wajahku. Nggak ada yang berbeda. Hidungku masih pesek, bibir tebal, pipi tembam, dan lipatan dagu. Agak sedikit pucat sih.

Apa aku lupa sarapan ya?

Asal tahu saja, aku itu gendut karena sering lupa sudah makan apa belum. Demi menghindari kebimbangan, aku makan aja. Walhasil, aku sarapan bisa dua kali.

"Kamu sakit, Shel?" tanya Pak Gerry.

Aku melirik meja Tita yang ada di seberang. Matanya memicing bak elang yang mengintai. Dia pasti sedang memikirkan yang aneh-aneh.

"Saya agak pusing, Pak." Aku memegang kepala dan berucap dibuat-buat lesu.

"Udah sarapan, Shel? Mau makan roti?" Mbak Intan buru-buru merogoh tasnya.

Aku menggeleng. "Udah makan di rumah, Mbak." Aku nggak ingat sudah makan apa belum di rumah. Bisa tiba di kantor dengan selamat hingga bekerja sampai jam segini saja sudah merupakan keajaiban dalam kondisiku yang penuh beban pikiran.

"Kalo capek, pulang aja. Istirahat di rumah. Kamu nyuruh saya ngawasin makan Louis, malah kamu sendiri yang jatuh sakit kan berabe," kata Pak Gerry.

"Jangan langsung pulang. Kita ke dokter bentar. Kamu beneran pucat banget." Mbak Intan bangkit dari kursinya dan menghampiri mejaku. Dia meletakan roti beraroma kopi.

Perutku langsung bergejolak. Serangan mual menyerang. Aku membungkam mulutku sendiri, lalu berlari ke toilet.

Aku memuntahkan seluruh isi perutku. Sarapan yang aku lupakan sudah berpindah ke lubang wc. Meski sudah memuntahkan semua makanan yang ada di lambung, aku masih merasa mual. Mbak Intan menyusulku. Dia memijat tengkukku saat aku masih mual.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang