52

802 174 16
                                    

Pak, bisa kita ketemu?

Pesan yang Shella kirim pagi-pagi, bikin kedua mata gue melotot lebar-lebar. Rasa kantuk, bahkan pengaruh alkohol yang gue minum semalam, benar-benar hilang dalam sekejab hanya karena pesan yang dia kirim. Sebenarnya ini sudah siang sih, sudah hampir jam 11. Tapi karena gue baru bangun, yah, gue anggap ini masih sangat pagi untuk memulai semua aktivitas hari ini.

Membaca pesan itu kembali dengan cermat, bahkan nama si pengirim pesan dengan sangat baik, gue coba balas dengan singkat padat dan jelas. Gue cuma pengen Shella enggak menyesal udah hubungi gue pagi ini.

Aih, kalau gue panggil dia dengan nama yang baik dan benar, Shella, rasanya aneh aja. Punya sedikit masa lalu enggak baik dengan cewek yang namanya Shella, buat gue agak gimana gitu kalau sebut nama itu entah dalam pikiran gue, kayak sekarang ini, atau panggil secara langsung. Tapi gue akan coba biasakan panggil dia dengan nama baik. Shella. Atau Shella Putri. Karena gue sadar sekarang ini dia sedang mengandung anak gue.

Lo di mana? Gue jemput.

Enggak begitu lama pesan gue udah dibales sama dia. Kalau gue tebak sih, dia juga lagi nungguin balasan pesan gue tadi. Makanya pas gue kirim balasannya, dia bisa gerak cepat juga tuk kirim jawaban.

Di kantor. Bisa makan siang bareng, sekarang?

Bukannya balas pesan dari Shella, kepala gue respon ngangguk gitu aja. Seolah-olah Shella ada di depan muka gue sekarang ini, padahal mah kami lagi terpisahkan kemacetan kota Jakarta. Aish, bukan bermaksud sok-sok puitis, tapi Jakarta akhir-akhir ini memang tambah macet. Bahkan menteri aja ada yang kepergok pakai jalur busway hanya demi menuju ke kantor tempat dia bekerja.

Luar biasa sekali negara ini. Loh, kok. Jadi bahas negara?

Demi mempersingkat waktu, gue balas 'iya' pesan dari Shella, lalu buru-buru cuci muka buat segera jemput dia ke kantor. Yah, walau tanpa mandi, tapi gue yakin Shella enggak akan komentar apapun soal ini. Karena fokus kami berdua pengen segera bisa selesaiin masalah ini.

Waktu gue turun ke lobi hotel, supir gue udah standby di sana. Nungguin gue sesuai arahan yang sebelumnya udah gue minta.

"Kantornya Louis, Pak."

Pak Slamet mengangguk di belakang kemudi sebelum menjalankan mobil ini. Tahu melewati rute mana tanpa perlu bermacet-macetan sedikitpun, gue sampai di kantornya Shella hanya sekitar 20 menit dari hotel, tempat gue menginap semalam.

Baru mau hubungi dia kalau gue udah di lobi, ternyata dia udah nungguin gue di depan pintu lobi. Wajahnya kelihatan pucat banget siang ini, bahkan ekspresinya enggak semenggemaskan biasanya.

Langsung saja turunin kaca mobil, tangan gue melambai ke arah Shella sambil memanggil namanya dia.

Buru-buru masuk ke dalam mobil, setiap pergerakan Shella diikuti dengan tatapan karyawan lain. Bukan bermaksud ingin julid atau kepo dengan urusan orang lain, namun jika gue diposisi karyawan tersebut juga akan penasaran melihat salah satu teman karyawannya pergi makan siang dijemput menggunakan mobil BMW series terbaru.

"Mau makan di mana?" tanya gue waktu Shella udah duduk nyaman di dalam mobil ini. Tatapannya masih lurus kedepan, seolah dia takut digigit kalau ngelirik gue yang ada di sampingnya.

"Shel ..." panggil gue pelan.

Dia nengok. Kemudian kepalanya malah geleng-geleng, sebagai jawaban dari pertanyaan gue tadi.

"Tumben lo enggak tahu mau makan di mana," kata gue pelan.

Meminta supir tuk jalan lebih dulu, gue enggak enak juga lama-lama parkir di depan lobi kantor ini. Nanti yang ada gue disangka ngerusuhin kantor ini lagi seperti sebelumnya. Kasus bikin furnitur rumah baru gue aja dalam waktu sebulan belum kelar-kelar, kalau ditambah lagi gosip-gosip yang ada dipikiran mereka semua, makin enggak kelar isi rumah gue.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang