Membiarkan Osta berbaring sejenak di atas sofa minimalis yang menjadi satu-satunya barang tersisa di rumah ini dari owner sebelumnya, gue enggak berniat ngomong apapun untuk ganggu dia istirahat. Karena gue tahu serangan mendadak tadi dari timnya Louis emang sangat disengaja. Bahkan tanpa perlu gue tanya dan perjelas, cewek itu kayaknya balas dendam sama si Osta karena udah ngatain dia mirip kendi tanah liat.
Hahaha, sebenarnya lucu juga kalau gue pikir-pikir. Dua cewek yang namanya sama, tapi bentukannya beda banget. Untung sindiran gue soal si Shella ini mirip babi guling enggak sampai gue sebut. Kalau sampai kedengar sama tuh cewek, bukan cuma dibodi kayak si Osta tadi, tapi mungkin aja gue ditindihin sama beban tubuhnya dia. Gila tuh cewek. Lupa cara diet kayaknya.
Gue coba kasih waktu sebentar buat Osta istirahat, sambil hubungi Shella lagi. Eits, Shella yang ini benaran tunangan gue. Karena dia tadi janjinya mau datang ke sini, buat lihat-lihat rumah dan furnitur yang bakalan gue pesan secara custom. Siapa tahu, dia berubah pikiran dan mau pilih sesuai selera yang dia mau.
Menjauh sejenak dari posisi Osta, gue sibuk menunggu panggilan ini dijawab sama Shella yang entah lagi di mana dia sekarang. Sengaja berdiri di dekat jendela, melihat ke arah luar, gue mulai menebak-nebak dimana tunangan gue sekarang ini?
Dia jelas enggak punya pekerjaan yang memakan waktu setiap hari. Dia juga bukan sosok wanita karir. Dia cuma hobi ngabisin duit doang. Ke salon. Mempercantik diri. Terus belanja barang-barang mahal. Mulai dari baju, tas, sepatu sampai alat make up.
Lipstick?
Gue pause sebentar panggilan ini karena enggak sengaja gue lihat sesuatu yang jelas bukan barang dari pemilik rumah ini sebelumnya.
"Punya siapa?"
Bingung? Jelas. Tapi gue inget-inget kayaknya pas tadi gue datang enggak lihat lipstick ini. Masa iya punya pemilik rumah ini sebelumnya.
Enggak pakai banyak pikir, gue langsung pungut dan cek kondisinya. Masih cukup baru. Terus dari brandnya, jelas ini bukan brand murah. Walau gue enggak pakai barang beginian, tapi Shella pakai. Dan gue tahu banget setiap dia beli make up, selalu brand ini yang jadi favorit dia.
Masih coba nebak-nebak berhadiah pemilik dari lipstick ini, tiba-tiba aja gue dikagetin sama bunyi ponsel gue sendiri. Refleks gue masukin ke kantong celana sebelum angkat telepon dari Shella yang kemungkinan besar baru sadar kalau gue teleponin dia dari tadi.
"Halo ..."
"Hm. Kenapa, Yang?"
"Kenapa? Kamu lupa kalau aku tungguin di rumah baru? Katanya mau lihat-lihat?"
"Iya. Aku baru mau ke sana. Aku habis perawatan dulu tadi. Badan aku sakit-sakit. Jadi aku massage dulu ke salon. Eh, ketiduran."
Gue enggak ngamuk atau marah sama dia. Karena gue tahu, ya ... emang ini doang kerjaan tunangan gue. Merawat diri, biar gue bahagia katanya. Tapi sampai saat ini belum ada kepastian kapan gue sama dia bisa saling memuaskan satu sama lain. Bukankah hal itu bentuk kebahagiaan juga yang bisa gue sama dia rasakan?
"Yaudah, buru ke sini. Aku tunggu. Nanti aku kasih supir buat alamatnya."
"Oke."
Enggak ada bantahan, buat gue bisa nyengir dengan lebarnya. Wah ... bau-bau bakalan jadi kawin nih gue sama dia.
"Aku tunggu ya sayang."
"Iya."
Mengakhiri panggilan ini, gue masih nyengir-nyengir kuda sampai gue kaget karena si Osta ternyata dari tadi merhatiin gue.
"Gimana? Aman nih rumah?" goda Osta yang enggak tahu dari kapan gue mantau gue kayak nyokap yang udah sange trus ngajakin threesome.
"Apaan sih lo? Udah bangun? Pesan makan lah. Kita makan di sini dulu, sambil nungguin Shella."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Love
RomanceKesalahan terbesar Shella tahun ini adalah maksain peruntungan buat balas dendam. Alih-alih balas dendam, dia malah kehilangan keperawanan. Mau kesal, tapi kok keenakan? *** Ganta tahu masalah setiap cowok adalah memastikan jamur mereka nggak salah...