3

2.2K 245 2
                                    

"Lepasin. Kak, lepasin."

Aku menarik lengan Tita tanpa memedulikan rengekannya. Begitu tahu Tita interview di sini, aku berlari ngibrit ke luar kantor untuk mencegatnya sebelum pulang, lalu menariknya ke tempat sepi yang ada di ujung area parkir motor. Tempat yang lumayan pas untuk mengintrogasi Tita.

Dia berhenti merengek setelah aku melepaskannya di belakang pohon asem fenomenal. Pohon ini tersohor karena menjadi tempat favorit melabrak bawahan tengil. Kurasa, inilah tempat terbaik untuk mengorek informasi.

"Kamu abis ngapain di ruangan Pak Gerry?" tanyaku langsung ke poin.

"Aku interview." Tita mengusap lengannya yang tadi aku cengkeram.

"Interview? Kamu?" Selain mustahil melihat matahari terbit di malam hari, mustahil pula menemukan Tita interview. Bocah ini paling anti interview. Dia selalu mengoceh soal menikahi cowok tajir melintir. Dulu, dia menjadikan Sandra Dewi sebagai junjungan. Setelah kasus ratusan triliun, dia menurunkan foto pernikahan Sandra Dewi yang bertema Disney dan beralih menjadikan Syahrini sebagai idola. Segitu obsesinya dia menjadi istri orang kaya sampai meniadakan 'kerja' dalam daftar kegiatannya selama hidup.

"Iya. Emang kenapa? Bukannya kamu yang selalu cerewet nyuruh aku kerja?"

"Aku emang nyuruh kamu kerja buat bayar semua COD kamu yang menggunung itu, tapi kenapa di sini?"

"Apa masalahnya kalo aku kerja di sini. Koh Gerry aja setuju. Dia bilang aku bisa mulai kerja Senin minggu depan." Tita mengibaskan rambut yang digerai ke belakang.

Aku meneguk ludah. Kabar ini mengerikan. Aku rela bekerja diteror customer dan harus lembur demi menginput segunung data ke komputer. Tapi bekerja bareng Tita, iiih... bulu kudukku lantas berdiri. Dia lebih cocok jadi kontestan pemalas sedunia. Buat ambil minum saja dia malas dan malah meneleponku yang sedang menggoreng di dapur untuk membawakannya segelas air. Sudah begitu, sifat ngambekannya jelek banget. Kalau nggak dituruti, dia mengamuk layaknya anak tantrum.

"Kamu mau kerja apa di sini?" Bukannya aku merendahkan Tita loh. Dia lulusan SMA dan pengalamannya terbatas pernah jadi kasir di toko kue selama seminggu.

"Asisten Koh Gerry," jawab Tita dengan pongah.

Aku menganga. "Gimana bisa?!" aku memekik nggak terima.

Sudah lama Pak Gerry mengeluhkan pekerjaannya yang menumpuk. Mbak Intan sudah sering mengusulkan asisten untuk membantu pekerjaannya. Waktu itu aku yang diusulkan Mbak Intan menilik pengalaman dan etos kerjaku. Pak Gerry menolak karena menurutnya aku sudah pas di posisiku sebagai admin. Padahal aku sempat ngarep bakal dipindah ke posisi yang nempel Pak Gerry.

Kenapa malah Tita yang dijadikan asisten? Mana dia paham pekerjaan di sini!

"Ya bisa lah. Apa masalahnya kalo aku jadi asisten Koh Gerry?"

"Koh Gerry. Koh Gerry. Nggak sopan banget kamu manggil dia. Dia itu bos di sini."

"Koh Gerry oke oke aja aku panggil begitu. Dia sendiri yang bilang kalo dia merasa nyaman dipanggil begitu SAMA AKU." Tita menunjuk dadanya sendiri untuk menegaskan hanya dirinya yang diizinkan memanggil Koh Gerry.

Aku menarik napas jengkel. "Aku nggak bakal bantu kamu selama kerja di sini. Jangan berharap aku bantuin kamu," ancamku.

"Terserah. Aku bisa belajar sendiri tuh. Emangnya sesusah apa kerja di sini? Aku itu lulusan SMK loh. Udah ah, kamu bawel banget, Kak." Tita mengibaskan tangan, lalu melenggang pergi.

Aku menatap kesal sosok Tita yang menjauh. Sebenarnya, aku punya dugaan kenapa Pak Gerry menolakku sebagai asistennya waktu itu. Secara penampilan, aku memang jauh dari kata menarik. Wajahku biasa saja. Sekali melihatku belum tentu meninggalkan kesan. Apalagi bentuk badanku. Ada banyak timbunan lemak di lengan, paha, perut, dan bokong. Perutku pun memiliki lipatan yang tebal. Pakaian ukuran L nggak muat di badanku.

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang