54

791 167 19
                                    

"Asem amat muka lo? Kenapa? Gagal rencana kemarin ke rumah tuh Kendi?"

"Namanya Shella Putri, bukan Kendi."

"Wets, kabar baik kayaknya. Sampai dibelain gini? Coba dong, cerita sama papah Osta. Siapa tahu Papah Osta bisa bantu."

Menaik turunkan kedua alisnya, ekspresi Osta amat sangat menyebalkan dimata gue. Pengen gue pukulin tuh muka, tapi enggak tega juga gue. Karena mukanya Osta cukup sering dia jadikan asset untuk menggaet cewek-cewek gemes diluaran sana.

"Woi, Ta. Jangan diem aja. Cerita lah. Biar gue tahu progressnya."

"Yah, gitu."

"Gitu gimana? Si Kendi, eh ... maksud gue, Shella enggak gugurin tuh bocil, kan? Aman kan bibit lo di rahimnya dia."

"Bangsat! Bahasa lo enggak ada yang bisa lebih normal lagi?"

"Hahaha, alah. Kita cuma ngobrol berdua aja, pakai bahasa normal segala. Udah mending buruan deh lo cerita, gimana akhirnya? Lo jadi kan kemarin pergi ke rumah Shella sama nyokap lo? Trus, gimana lagi? Gue kan penasaran."

"Hm, jadi."

"Trus?"

"Nabrak."

"Basi. Buruan njir, gue penasaran banget," seru Osta sampai naik-naik meja kerja gue.

"Yaudah, gue ke rumah Shella, bareng nyokap. Trus ngomong, panjang lebar. Tapi kalau lo penasaran soal anak gue gimana kedepannya, gue udah ngomong sama Shella, dan dia setuju. Dia mau kita ngebesarin anak ini sama-sama."

"Jadi married dong?" tanya Osta sampai tuh biji mata keluar-luar. Buset kaget banget dia dengar gue bakalan nikah sama Shella.

"Ya, mau enggak mau. Cuma untuk sekarang ini gue fokus bener-bener kelarin masalah ini aja. Karena menurut gue masih ada yang janggal dari percakapan nyokap gue sama nyokapnya Shella. Dan semalam balik dari rumah Shella belum sempat gue bahas lagi di rumah. Mungkin malam ini kita baru ngomong baik-baik, coba detailkan lagi kronologinya, biar tahu ada miss di mana?"

Mengerutkan kening, Osta kembali duduk nyaman di kursinya. "Emang yang miss terkait hal apaan?"

"Gue juga kurang paham. Soalnya tuduhan dari nyokapnya Shella, mereka enggak pernah ngerasa dapat tanggung jawab dari pihak kami. Padahal nyokap gue bilangnya, semua udah dia urus. Uang duka, lubang makam, sampai biaya yang muncul waktu penguburan, udah semua nyokap kasih. Tapi nyokapnya Shella enggak merasa dapat hal itu. Dari sini aja gue udah ngerasa ada miskom, tapi ya gitu, karena semalam udah kemaleman, ditambah lagi si Shella kondisinya enggak fit, jadinya gue sama nyokap pamit balik. Pas di rumah, gue niat buat bahas ini lagi, tapi nyokap udah keburu masuk kamar. Mungkin dia juga pusing kali. Karena pastinya nyokap udah ngelakuin semua tanggung jawab itu. Yah, bukan maksud belain nyokap, walau dia bukan ibu kandung gue, tapi dari bayi hanya kenal dia sebagai ibu, gue tahu banget gimana karakter dia. Dia bakalan kepikiran kalau ada sesuatu yang terjadi, dan enggak sesuai sama isi pikirannya. Jadi yah, gue biarin dulu. Niatnya malam ini baru gue bahas lagi."

Sok-sok mikir, Osta tiba-tiba banget bersuara. Dia bilang setuju dengan ide gue buat bahas miskom ini nanti malam.

"Gue yakin nyokap lo udah tanggung jawab, apalagi perkara uang, pasti dibayar sama dia. Cuma masalahnya kalau nyokapnya Shella enggak terima, berarti kan ...."

"Berarti?"

"Aduh, bro, masa lo enggak paham. Sama banget kayak anggaran makan gratis untuk anak dari pemerintah. Awalnya bilang 15ribu, tapi sekarang ganti lagi jadi 7500. Nanti lama-lama sampai ke rakyat cuma seharga gorengan satu biji."

Whimsical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang